Belajar Pada Ibu Bangsa | Belajar Toleransi dari Gus Dur dan Sinta

Oleh: Vony Tansri – SMA Pahoa Summarecon Serpong Tangerang Selatan


Senin cerah, 24 September 2018, perasaan saya sangat senang karena ini kesempatan langka bertemu dengan Ibu Sinta Nuriyah Wahid bagi saya, tetapi merasa berat untuk meninggalkan pelajaran. Hari itu, saya tidak menuju ke kelas yang di lantai 7 tetapi menuju perpustakaan lantai 2 gedung F. Pagi itu pukul 07.00, saya berangkat dengan bus sekolah dengan peserta lainnya. Belum lama berangkat, bus kembali ke sekolah karena ada seorang guru ketinggalan. Setelah guru itu naik, kami lalu melajutkan pelajaran. Perjalanan diwarnai dengan ketegangan hingga membuat kesalahan saat pembuatan video.

Setelah menempuh perjalanan selama 2 jam, akhirnya bus sampai di daerah Ciganjur Jakarta Selatan. Untuk menuju ke rumah Ibu  Sinta melalui gang sempit.  Bus parkir di depan Pesantren Al Munawaroh. Saat sampai di pesantren, saya merasa ada aura tenang dan damai. Jam menunjuk jam makan siang, kami makan di Masjid Jami Al Bayinah. Setelah  makan siang, kami diri  mempersiapkan untuk wawancara dengan Sinta Nuriyah.

Bersama Ibu Sinta Nuriyah Wahid- Saya berada di kiri (kedua)

Kami hanya diberi waktu satu jam dengan enam orang dengan 12 pertanyaan, tetapi kenyataannya berlangsung  selama tiga  jam. Sebelum masuk ke rumah Sinta, kami menaruh tas  di pos satpam, lalu masuk ke rumahnya. Meskipun Gus Dur pernah menjadi presiden, rumahnya menurut saya sederhana dan jauh dari kata mewah seperti tidak seperti rumah presiden lainnya.  Kesan ramah pun terasa di rumahnya. Saat ajudannya mengusulkan kami  duduk di lantai di ruang tamu, Ibu Sinta menyuruh kami untuk duduk di kursi.

Kami disuguhi teh, kue lapis, bolu, dan kue kelapa. Lalu, Ibu Sinta masuk ke ruang tamu dengan kursi roda elektrik dan memakai pakaian sederhana dengan kerudung putih. Saya sebagai pewawancara pertama. Sebelum wawancara, saya memperkenalkan diri. Saat itu, saya merasa tegang dan belum percaya bahwa di depan saya adalah Ibu Sinta Nuriyah Wahid. Saya harus mengulang pertanyaan karena tegang hingga tidak terdengar jelas olehnya. . Saya bertanya tentang isu toleransi yang masih menjadi masalah di antara masyarakat Indonesia.

Saat ini, Bangsa Indonesia sedang menghadapi masalah toleransi yang disebabkan oleh hasutan oknum yang tak bertanggung jawab. Menurut Sinta, Indonesia adalah negara majemuk (brotherland), semua itu saudara, menyadarkan bahu kepada saudara, dan diikat dengan semboyan negara, yaitu Bhinneka Tunggal Ika. Indonesia tidak akan terpecah belah jika semboyan negara, yaitu ‘berbeda-beda tetapi satu tujuan’ diamalkan dan diterapkan bukan hanya dihafalkan. Banyak teladan dari Sinta dan Gus Dur yang dapat dicontoh.

Ada lima ajaran Gus Dur yang bisa mebuat Indonesia berkembang lebih baik: hati dan pikiran harus bersih, sabar dan ikhlas adalah dasar kebahagiaan, menerima takdir dengan lapang dada, toleransi yang tinggi antar umat beragama, dan rukun terhadap semua suku dan ras yang ada di Indonesia. Hati dan pikiran harus bersih mengajarkan agar semua individu tidak berpikir buruk dan selalu berpikir positif. Sabar dan ikhlas adalah dasar kebahagiaan dan menerima takdir dengan lapang dada mengajarkan agar semua individu sabar, ikhlas dan berlapang dada dalam menghadapi tantangan. Toleransi yang tinggi antar umat beragama dan rukun terhadap semua suku dan ras yang ada di Indonesia mengajarkan agar semua individu menghargai perbedaan dan selalu rukun agar tidak terjadi perpecahan di antara keberagaman ini.

Berdasarkan data Sensus penduduk 2010, jumlah warga keturunan Tionghoa di Indonesia mencapai 2,83 juta jiwa atau sekitar  berjumlah 1,2 persen dari total penduduk penduduk Indonesia yang berjumlah 236,73 juta jiwa. Dengan data ini, jumlah orang Tionghoa di Indonesia berada di urutan ke 18 dari semua suku. Sayaangnya, orang Tionghoa dari masa ke masa selalu mendapat diskiriminasi. Bahkan saat penjajahan Belanda, banyak rumah orang Tionghoa yang dibakar, dijarah dan banyak orang dipenjara dan dibunuh. Saat pemerintahan Soeharto, Ia melarang segala sesuatu yang berbau China dari adat istiadat, kegiatan keagamaan, dan kepercayaan. Soeharto menyuruh orang Tionghoa untuk mengubah nama mandarin menjadi nama Indonesia, melarang pergunaan bahasa Mandarin, dan Perayaan Imlek. Puncaknya pada reformasi 1998, banyak orang Tionghoa meninggalkan Negara Indonesia dan ada  pulatindak kekerasan terhadap  perempuan  Tionghoa.

Orang Tionghoa di Indonesia  sangat berterima kasih kepada Gus Dur karena ia telah mencabut inpres sebelumnya yang melarang budaya Tionghoa. Dengan kebijakan Gus Dur ini, orang Tionghoa di Indonesia dapat secara bebas belajar bahasa Mandarin dan merayakan Imlek hingga saat ini. Karena jasanya, orang Tionghoa memberi gelar Gus Dur sebagai Bapak Tiionghoa Indonesia pada 24 Agustus 2014. Selain itu,  di Semarang didirikan  tugu arwah bertuliskan nama Gus Dur di altar persembahyangan leluhur mereka yang bertujuan mengingat jaa-jasa Gus Dur bagi orang Tionghoa. Menurut ketua Perkumpulan Sosial Rasa Dharma Semarang, Harjanto Halim, umat Khonghucu di Indonesia sudah jarang bersembahyang pada dewa-dewi yang berasal nun jauh dari China. Mereka memilih untuk bersembahyang pada Gus Dur karena pribadi dan jasanya yang sangat dekat dengan orang Tionghoa di Indonesia.

Dari wawancara saya dengan Sinta, saya belajar bahwa semua ras di Indonesia harus mendapatkan hak dan kewajiban yang sama. Bhinneka Tunggal Ika bukan hanya dihafal tetapi diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.

 

Sumber

  1. Wawancara dengan Ibu Sinta Nuriyah Wahid.
  2. Belajarcintaindonesia.wordpresss.com
  3. Rasisme terhadap Etnis Tionghoa dari masa ke masa www.tirto.id
  4. Foto Gus Dur – http://www.dprdsorongselatan.net/ajaran-gus-dur-soal-toleransi-sangat-relevan/

 

 

Diterbitkan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Close

Error: Contact form not found.