Dr. Fahmi Idris: ‘Ganesha’ dari Gang Kenari

Kilau Transformasi


Quanti est sapere

Betapa bahagianya menjadi bijak

(Terentius, Ahli Tata Bahasa Latin, 76 – 138)

*

          Aktivis Tiga Zaman–demikian sebutan heroik diberikan kepada Fahmi Idris dari para sahabatnya–Angkatan’66. Dalam biografi maupun media menyebut pria berdarah Minang itu  sebagai seorang pengusaha, politikus dan  pernah menjabat sebagai Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI (21 Mei 1998 – 20 Oktober 1999; 20 Oktober 2004 – 5 Desember 2005) dan sebagai  Menteri Perindustrian RI (5 Desember 2005 – 20 Oktober 2009).

Dalam usia purnabakti, Fahmi Idris   aktif di dunia pendidikan sebagai dosen S-3 di Universitas Negeri Jakarta (UNJ) dan kini sebagai  mahasiswa S-3 Filsafat di Universitas Indonesia (UI). Tak salah jika langkah-langkah kehidupan yang ditempuhnya bisa disebut sebagai  sebuah paradoksal. Bayangkan, dari seorang pengusaha, politikus, mantan pejabat tinggi kemudian bertransformasi menjadi ‘guru’ dan juga jadi ‘murid’ sekaligus. Bukan sembarang murid, melainkan murid yang sangat rajin dan disiplin, demikian kesaksian orang-orang dekatnya. Meskipun kurang sehat ia tetap rajin kuliah. Ketika artikel ini ditulis,  pria yang gemar berkebun itu akan lulus sebagai Doktor Filsafat.

Fahmi Idris lahir di Jakarta, 20 September 1943. Ayahnya, Idris Marah Bagindo seorang pedagang. Ibunya bernama Maryam, seorang ibu rumah-tangga yang mengabdikan diri  sepenuh hidupnya untuk mengabdi pada suami dan mengasuh anak-anaknya. Hubungan Fahmi Idris dengan ibunya sangat dekat dan itu membuatnya menjadi family man ketika sudah berumah-tangga. Ibunya pula yang membuatnya menjadi pribadi yang toleran, religius, jujur, intelek  dan  humanis  yang filantropi.  Jadi pengusaha, belajar dari ayahnya.

Berikut ini cuplikan wawancara Warior dengan Dr. Fahmi Idris.

Warior:         

Apa yang membuat Bapak begitu mencintai pendidikan dibandingan dengan uang yang melimpah dari hasil usaha?

Fahmi Idris:

Pendidikan itu satu kebutuhan dasar manusia untuk dapat hidup lebih baik dengan perbuatan baik dan bermanfaat bagi masyarakat.

Warior:

Dari mana pemikiran demikian bisa menumbuh begitu bijak, Pak Fahmi?

Fahmi Idris:

Saya belajar dari Ibu saya (tersenyum, sambil matanya menerawang, mengingat spirit ibunya yang begitu mulia). Ibu saya adalah inspirasi saya.    Walau  ia tidak berpendidikan tinggi tapi mampu mengarahkan saya untuk rajin  belajar dan bersekolah  setinggi-tingginya. Sikap ibu yang demikian, membuat  saya tekun belajar agar tidak mengecewakannya.Padahal kenyataannya, arahan dan dukungan ibu terhadap saya ya saya-lah yang sekarang  menikmatinya. Karena pada saat saya sampai pada pencapaian tinggi, ibu saya sudah meninggal. (Terharu) Untungnya, saya sempat mendampingnya naik haji dan membelikan rumah yang cukup layak untuknya. Walau kenyataannya ibu saya lebih betah tinggal di rumahnya di Gang Kenari daripada tinggal di rumah yang saya belikan di wilayah Jatinegara. Sebelum meninggal, ibu kembali ke Gang Kenari. Dia tampak bahagia karena bisa berkumpul dengan tetangga yang telah diakrabinya puluhan tahun. Sekarang, rumah ibu kami jadikan Sekolah Tahfidz Fahmi Idris.

Warior:

Apakah anak-anak di lingkungan Bapak juga dimotivasi demikian?

Fahmi Idris:

(Tertawa) Ya, tidak. (Tiba-tiba serius)  Anak-anak di lingkungan saya umumnya bergaya hidup seperti lingkungannya – di daerah slum, di Gang Kenari. Mereka mandi di sungai, bermain tanpa mengenal waktu dan suka berkelahi. Saya juga mandi di sungai bersama mereka, bahkan juga pernah suka berkelahi  (tawanya meledak), ayah saya suka memarahi saya. Ibu saya melerai. Ibu saya sangat sayang pada saya. Sikap ibu membuat saya jadi berhenti berkelahi.

Warior:

Sebagai anak kesayangan, apa yang paling terkenang akan sikap ibu?

Fahmi Idris:

(Tersenyum) Saya suka masakannya, gulai kepala ikan. Juga kala ia buat telur dadar. Telurnya sedikit sayuran banyak. Jadi, telur rasa sayur. Waktu telur itu diiris ya potongan tebal.  Saya suka dan itu jadi kebanggaan saya waktu cerita pada teman-teman. Masakan ibu saya enak sekali. Padahal banyak teman saya yang makan lauknya  daging jadi tergiur dengan telur dadar ibu saya.

Warior:

Apa lagi yang terkesan dari ibu Anda, Pak Fahmi?

Fahmi Idris:

(Terharu) Ibu saya selalu bersikap lembut, tidak pernah marah, tapi tegas. Rajin beribadah.   Dia ibu yang sangat baik terhadap anak-anaknya. Kami dididiknya  rajin beribadah selain diarahkan agar rajin belajar. Ayah saya agak keras. Dengan sikap ibu yang begitu lembut, membuat saya tidak berani berbuat aneh-aneh walau saya pernah  tidak jujur. Misalnya, saya berkelahi mengaku tidak berkelahi – padahal ibu saya tahu itu. Maka saya jadi sadar, bahwa  bersikap jujur itu suatu keharusan agar hidup menjadi lebih baik dan tertib. Ibu saya tidak mengatakan hal  itu secara  frontal tapi saya paham. Tapi soal pendidikan, ibu berharap saya harus bisa  sekolah setinggi-tingginya melebihi anak-anak di lingkungan saya.  Faktor ini yang membuat saya rajin ke perpustakaan cari buku-buku referensi agar studi saya berhasil.  Walau saya akhirnya menjadi aktivis, untuk menyuarakan kebenaran. Ibu saya selalu berpesan agar saya bersikap hati-hati dan menyelesaikan studi saya. Itu saya laksanakan. Bahkan, membuat saya paham apa manfaat ilmu yang diamalkan. Ilmu harus terus ditimba, sepanjang hidup.

Warior:

Bagaimana cara Bapak mengasah pemikiran dan memperluas wawasan?

Fahmi Idris:

(Penuh semangat) Saya bergabung dengan klub-klub diskusi. Baik itu diskusi yang bersifat akademik maupun politik. Dalam klub-klub tersebut saya dan teman-teman mendewasakan diri dan mematangkan permikiran serta memperluas wawasan. Kami mencari mentor yang tepat, sesuai dengan langkah-langkah yang ingin kami tempuh untuk mencapai suatu target. Dalam hal ini saya selalu berhati-hati dalam mencari sumber yang benar agar bisa berbuat adil dan bijak.

 

Demikian sekilas kisah Fahmi Idris yang lahir dan tumbuh di daerah slum, tapi tidak membuatnya bermental kumuh. Berkat didikan ibunya yang penuh kelembutan dan kesabaran  disertai doa, Fahmi yang suka berkelahi bisa bertransformasi menjadi empat sosok yang semuanya membanggakan: Aktivis 66, Pengusaha, Politikus dan  Penjabat Tinggi (Mantan Menteri). Kemudian pada puncak usianya ia  menjadi pendidik yang humanis-filantropi. Maka tak salah jika ia layak disebut bak madeg jadi ‘Ganesha’: Dewa Kecerdasan, Keberuntungan dan Kemakmuran. *


Fahmi Idris, adalah seorang pengusaha dan politikus asal Indonesia. Ia pernah menjabat sebagai Menteri Tenaga Kerja dalam Kabinet Reformasi Pembangunan. Serta Menteri Perindustrian dan Menteri Tenaga Kerja & Transmigrasi pada Kabinet Indonesia Bersatu

Diterbitkan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Close

Error: Contact form not found.