Volenti nil difficile
Bagi orang yang mempunyai kemauan, tidak ada yang sulit
(Ulpianus, Ahli HukumRumawi Kuno)
*
Marla Ge, perempuan asal Surabaya. Ia kini menetap di Sydney Australia bersama suaminya yang berdarah England, Irlandia-Jewish, merupakan sosok yang pernah mengalami goncangan jiwa akibat dari kebangkrutan usaha ayahnya di bidang jasa angkutan. Bahkan, ayahnya itu sampai masuk penjara karena kasus utang-piutang yang dilakukan oleh partner bisnisnya. Tapi, tidak hanya kemiskinan saja yang dirasakan Marla. Ketika memasuki usia 14 tahun. ibunya meninggal dunia akibat kanker payudara. Sebagai anak bungsu, kemudian ia diasuh oleh kakak-kakaknya yang melecutnya untuk mampu mandiri.
Tapi yang paling membuat Marla berani berjuang menghadapi berbagai gelombang hidup yang ‘menggilasnya’ adalah pesan ibunya, “Meskipun kamu perempuan, harus bisa cari uang. Jangan tergantung suami.”. Maka,, secara perlahan Marla bisa bangkit dari keterpurukannya, dimulai dari membangun mentalnya ‘tidak mau jadi orang miskin’, agar bisa hidup enak .
“Paling tidak, bisa mencukupi kebutuhan hidup saya. Tidak harus minta-minta bantuan!” tegas Marla, mengenai konsep ‘tidak miskin’
Urung Jadi Ahli Gizi, Jadi Guru Bahasa Inggris
Lulus SMA, Marla pernah kuliah di Universitas Widya Mandala ambil jurusan Ilmu Pangan dan Gizi di Universitas. Tapi, itu hanya berlangsung satu tahun. “Tidak ada biaya!” kenangnya, sambil tertawa.
Itulah kelebihan Marla. Ia berpembawaan riang, karena sejak kecil belajar menerima kondisi hidupnya sebagai pelajaran untuk tetap bisa kuat melalui doa-doa yang ia panjatkan di gereja maupun di rumah. “Jika ada kemauan pasti ada jalan yang dibukakan-Nya. Maka tidak ada yang sulit.” Demikian, keyakinannya yang ia jadikan pilar hidupnya. “Tapi, untuk memulainya memang tidak mudah. Ada ketidakpuasan, apalagi jika melihat teman-teman yang lebih. Membanding-bandingkan itu memang tidak ada gunanya. Justru menambah lara jiwa.” Ia menggarisbawahi. Akhirnya ia membiasakan diri menerima diri saya apa adanya. Lama-lama menjadi terbiasa!” demikian proses Marla untuk membasuh jiwanya: Self-Acceptance – Penerimaan Diri.
Sikap Self-Acceptance membuat Marla tak putus asa walau harus drop-out dari kuliahnya itu dan mulai mencari uang dengan. memberikan les kepada anak anak SD selama satu tahun. Kemudian ia melanjutkan kuliah di FKIP Wijaya Kusuma ambil Jurusan Bahasa Inggris.sambil terus mengajar untuk. membiayai kuliahnya. Beban tugas kuliah yang semakin berat membuatnya untuk berhenti mengajar. Untunglah, salah seorang kakaknya yang kuliah di Fakultas Kedokteran rela cuti dan bekerja untuk membiayai hidup mereka berdua. Akhinya Marla bisa meneruskan kuliahnya .
Menjadi Keranjang Sampah Kesalahan
Tuntutan ayah yang ingin anaknya bekerja di bank, Marla menurutinya. Ia diterima bekerja di sebuah bank di divisi Customer Service (CS). Perempuan berdarah Cina-Filipina ini mengaku senang mendapat pekerjaan tersebut, apalagi ditempatkan di front desk yang membuatnya bertemu banyak orang dan berbeda karakter. Selain itu dituntut tampil rapi yang membuatnya belajar tampil feminin dan cantik. Rasa percaya diri bahwa ia ‘tidak miskin’ mulai menumbuh, setiap bulan mendapat penghasilan yang cukup lumayan baginya sebagai fresh graduate. Tetapi Marla merasa terlalu lama untuk bisa mendapatkan uang lebih banyak. Tuntutan untuk tampil selalu cantik dan pekerjaan yamg monoton tidak membuatnya merasa nyaman bekerja di bank. Selain itu, ada alasan lain.
“Rupanya, atasan saya, ya perempuan, tidak menyukai kehadiran saya!” Marla tertawa geli kala menceritakan kisahnya dalam episode kerja di sebuah bank. “Ia bisa ramah dan begitu baik pada siapa saja, kecuali pada saya. Jika ada yang salah, walau itu bukan tanggungjawab saya, tapi saya yang disalahkan.” Sambungnya. Ibaratnya, Marla menjadi keranjang sampah kesalaha bagi atasannya tersebut.Meskipun demikian, perempuan yang rajin merawat kulit itu berusaha untuk bertahan karena merasa jika saya menyerah betapa lemahnya saya, dan sering mendengar cerita kalau bekerja sebagai pegawai harus siap menghadapi hal hal ini. Ya sudah saya terima walau tidak enak tetapi saya berusah mencari jalan keluarnya/ Baginya, menjadi ‘keranjang sampah kelasahan’ telah dilakoninya sejak kecil. Maklum ia anak bungsu dan diasuh oleh kakak-kakaknya yang menurutnya ada yang bergaya sok bos. “Selain nyuruh-nyuruh ya..saya sering di marahi kalau berbuat salah bukan diberitahu baik baik ” Kenangnya.
Kemauannya untuk maju dan bisa mandiri keluar dari rumah membuatnya berani mimpi besar bahwa ia punya harapan bisa mandiri bersambut dengan sebuah tawaran untuk memberi les Bahasa Inggris pada siswa-siswi yang belajar di Sekolah Internasional Ciputra. “Yang saya lesi kan anak-anaknya orang kaya, jadi bayarnya relatif besar untuk masa itu besar walau saya ditegur kalau anaknya nilainya buruk!, satu hal yang membuat saya senang, anak-anak itu sangat sayang sama saya ” kenang Marla.
Ia pun door to door naik sepeda motor, ke rumah murid-murid yang ia ajar. “Capek sekali. Hujan kehujanan, panas kepanasan. Jadi, tidak bisa terima murid lebih dari sepuluh.” Kata Marla, sekitar lima sampai tujuh anak saja yang bisa ia handle. Income mengajar ini lebih besar 3-4 kali lipat dari income bekerja di Bank. Akhirnya Marla resign dari bank tersebut walau ayah sangat menentang.
Ternyata dalam pergaulan pun Marla menemukan orang-orang tipe mantan bosnya di bank itu. Ia berusaha untuk bisa menerimanya, sekaligus untuk mawas diri. Karena bagi Marla, jika menyerah menghadapi orang-orang demikian akan menghambat apa yang ingin diraihnya. Ia berkaca pada ayahnya, setelah mengalami kebangkrutan daya juangnya menurun selain karena usia dan juga kekerasan hati ayahnya yang tidak mau belajar dan menerima saran.
“Selepas menjalani hukuman selama tiga tahun di penjara, ayah saya bangkit lagi dari keterpurukan tetapi kembali gagal karena kesalahan management . Saya tidak mau seperti ayah saya walau tidak gampang menyerah tapi tidak mau belajar untuk bangkit dari kegagalannya. Saya harus terus melaju untuk meraih impian saya – bisa menjadi orang yang sukses dan membanggakan bagi ayah saya dan harus selalu mau belajar bukan keras kepala.” Demikian tekadnya, begitu bulat, membuatnya tiada henti mencari peluang untuk mendapatkan penghasilan yang dianggapnya memadai.
Kekasih yang Menghilang, Terhibur Anjing Kesayangan
Tidak ingin hidup susah dan selalu ingin mandiri serta menjadi orang sukses merupakan obsesi Marla sejak ayahnya mengalami kebangkrutan. Faktor tersebut yang membuatnya tidak mau mengisi masa remajanya dengan hura-hura. Selain itu, kakak-kakaknya juga mengekang pergaulannya. “Saya tidak boleh ke diskotik. Maka saya pernah nyolong-nyolong ke diskotik saat pamit nginap di rumah teman. Ternyata, diskotik memang tidak cocok buat saya!” lagi-lagi Marla tertawa, “Cocoknya ya kerja! Atau mengisi waktu luang dengan aktif di gereja ” ia menemukan jawabannya.
Tanpa ia sadari, Marla terbentuk sebagai pribadi workaholic. Yaitu, suatu kondisi dari seseorang yang mementingkan pekerjaan secara berlebihan dan melalaikan aspek kehidupan yang lain. Hampir seluruh waktu, tenaga, dan pikirannya hanya untuk melakukan pekerjaan. Workaholic merupakan sebutan untuk orang-orang yang kecanduan kerja. Di tambah pengalaman di kecewakan calon suami, ia tidak terlalu memikirkan untuk menikah.
“Saya perlu waktu lima tahun bangkit dari rasa kecewa dan sakit hati karena pengkhianatan, luka jiwa. Tapi itu bisa saya lupakan dengan menyibukkan diri bekerja, mendapatkan kekuatan karena bertanggung jawab menghidupi kedua anjing yang sangat saya sayangi. Mereka teman sejati, menemani saya di hari hari terburuk saya.” – demikian cara Marla membasuh luka-jiwanya.
Sampai akhirnya saya bertemu dengan suaminya. “Ya, saya memang suka dengan pria asing karena seperti yang di film-film Barat.” Papar Marla. Maksudnya, ia melihat kesetaraan hubungan suami-istri. Keduanya saling menopang tanggung-jawab rumah-tangga. Istri tidak melulu melayani suami. “Umumnya, suami di Indonesia kan maunya dilayani istrinya dalam segala hal. Saya tidak suka itu. Ya harus fair. Suami-istri ya harus kerjasama!” tegasnya. Tapi kala itu ia tidak berani frontal mengemukakan keinginannya dengan pertimbangan tidak mau menyingung siapa pun. Maka keinginannya itu ia pendam dalam-dalam, sambil mencari pasangan hidup yang sesuai dengan kriterianya.
Dapat Kado Jodoh di Brisbane
Akhir tahun 2000 Marla memutuskan bergabung dengan perusahaan multinasional HDI, core bisnisnya di bidang high desert yang diproduksi dari lebah (madu). Sistem pemasaran produknya menerapkan MLM (Multi-Level-Marketing), memiliki 200.000 lebih enterpriser berkantor perwakilan di Amerika, Singapura, Malaysia, Indonesia, Hong Kong dan Filipina. HDI menjadi salah satu dari 11 diantara 293 perusahaan Multi-Level-Marketing (MLM) yang telah terdaftar di Asosiasi Penjualan Langsung Indonesia (APLI) dan tersertifikasi syariah oleh DSN-MUI.
“Saya tertarik bergabung dengan HDI karena mempunyai program trainingpengembangan diri untuk menjadi pengusaha dengan pribadi yang lebih baik. Selain itu, memberi peluang saya bisa mendapat penghasilan bersama mitra-mitra saya, tanpa batas dan sekat. Semua sejajar. Saya melihat kecepatan mendapatkan income besar yang tidak saya dapatkan dari bisnis lain kecuali saya punya modal besar. Saya merasakan inilah jawaban dari doa-doa saya untuk bisa sukses cepat tanpa modal besar. Saya mendapat saluran.” paprnya.
Tahun 2002 ia dipercaya membuka cabang di Balikpapan – Kalimantan Timur. Sebagai perintis, sempat mengalami masa masa sulit; mulai dari kelaparan, difitnah rekan kerja sehingga banyak teamnya yang meninggalkannya. Tapi, Marla mampu bertahan untuk mewujudkan impiannya – Sukses, berkat pertolongan rekan kerja yang mensponsorinya – upline upline-nya yang selalu mendukung moral dan kadang kadang material.
Merintis usaha dalam bidang network marketing dan merintis kantornya sekaligus bukanlah hal yang mudah. Marla dihadapkan dengan problem kekurangan modal untuk memperbesar stok barang di kantor. Untuglah ada seorang rekan kerjanya di HDI, seorang haji bersedia membantunya. Usaha Marla berkembang,karena omzet naik secara signifikan.

Dua tahun bergabung di HDI, Marla berhasil meraih gelar diamond direktori. Tak lama kemudian ia meraih prestasi Executive Diamond. Marla pun bisa membuat bangga ayahnya, dengan mengajaknya naik ke panggung saat acara recgnation. Senyum kebanggaan seorang ayah membunga, mendapatkan tepuk tangan dari 800 peserta convention.
Selain memetik hasil rupiah yang cukup memuaskan, Marla juga mendapat kesempatan travelling ke Australia. Kota-kota yang dikunjunginya: Brisbane, Sydney dan Melbourne. Ketika melancong ke Brisbane ia mengunnjungi sebuah casino. Di situlah ia berjumpa dengan seorang pria berdarah Inggris, Irlandia dan Jewish. Pria itu kemudian menjadi suamiya.
“Prosesnya panjang, hampir dua tahun, komunikasi via email. Setelah agak akrab kami saling menelpon. Jadi, kami tidak serta-merta saling jatuh cinta. Apalagi saya, waktu itu sedang mengalami trauma batin dampak dari pengkhiatanan mantan . Duhh, rasanya waktu itu saya tidak percaya sama laki-laki. Ada niat tidak menikah, apalagi saya punya banyak rekan kerja di HDI ini yang sangat seru seru ” Marla berkilas balik. “Tapi, dia bisa meyakinkan saya. Selain itu saya juga berpikir – saya tidak mau sendirian di masa tua ?” sambungnya, terkekeh.
Tahun 2005 Marla menikah. Kemudian ia diboyong suaminya yang bertugas di Freeport. Baginya, membuka lembaran hidup baru. “Kami tinggal di Koala Kencana, Timika.” Paparnya. Walau tidak terlalu aktif karena jarak, ia masih menjalankan bisnisnya dengan HDI.
Suami Legowo Tanpa Momongan
Memasuki perkawinan tahun ke empat, Marla dan suaminya belum juga mendapatkan anak. Telah dicobanya melalui bayi tabung, momongan yang mereka nantikan tak juga hadir. Mengapa bisa demikian? Karena Marla mengalami gangguan rahim yaitu menderita endometriosis. Sejarah genetik kanker yang diderita almarhum ibunya membuat Marla rawan terserang tumor rahim. Untunglah, suami dan keluarganya meminta Marla agar tidak memikirkan kekurangannya sebagai perempuan.
“Ibu mertua saya justru khawatir, perkawinan kami hancur karena terlalu berharap punya anak. Maka ia minta agar kami menghentikan program bayi tabung. Kami diminta untuk menikmati hidup – tidak masalah tanpa anak. Sejak itu kami sepakat untuk mewujudkan rasa bahagia walau tanpa anak. Proses menerima kehendak Tuhan dan melihat dari sisi yang berbeda..”Proses ini tidak. mudah, tetapi saya bersyukur pembentukan karaktert dari training training yang selama ini saya terima bisa menerimanya dan bisa melihat dari sisi yang berbeda. Tanpa anak, saya justru bisa mendampingi tugas suami saya ke berbagai negara – sambil tetap menjalankan bisnis saya di HDI.” Marla menceritakan dinamikanya sebagai seorang istri yang berkiprah di bidang mechanical engineering.
Selesai tugas di Freeport, Tahun 2010 ia pindah ke Brisbane mengikuti suaminya dan pernah mencoba membuka bisnis di bidang skin CARE dengan kantor di Surabaya tetapi menyadari melakukan kesalahan karena jarak , sehingga memutuskan untuk menutup. dan kembali kuliah ambil jurusan interior architecture untuk mendukung usaha yang diinginkannya bersama suami di sektor property. Di samping itu ia juga aktif kerja sosial bergabung dengan St. Vincent de Paul Australia bersama para pensiunan, Marla mengaku, di lembaga ini selain bisa belajar kejujuran dan ketulusan, juga bergaul lebih luas dengan multietnik yang ada di Brisbane, Queensland Marla berkiprah sosial di sini hingga lima tahun lamanya sampai harus pindah ke Sydney.

“Tugas saya jaga toko, menyortir pakaian dan barang barang yang bisa layak di jual, menjual pakaian bekas tapi sangat layak pakai. Karena sebagian besar donaturnya orang-orang kaya. Pakaian bekas atau alat alat dapur itu dijual dengan harga sangat murah.” Marla punya kenangan manis, Ia juga kagum pada semangat para pensiunan yang masih ingin berbagi dan merasa bemanfaat bagi orang lain dengan bekerja sosial. Ada satu peristiwa yang menjadikan pembelajaran hidup bagi saya dan ini yang selalu saya katakan pada diri saya untuk tidak malas “Untuk Mereka bisa membeli makanan dan minuman dengan uang pribadi, mereka harus hemat. Mengharukan!” Ternyata uang pensiunan tidak cukup untuk hidup dengan nyaman .Ini yang membentuk Marla untuk harus mau berjuang dan harus bisa hidup nyaman di masih tua bukan bermalas malasan di. masa muda.
Kini Marla merasa telah menemukan apa yang dicarinya. Tapi lebih penting, ia bisa menolong orang lain lewat bisnis network marketing-yang ditekuninya. Makanya, ia tetap bekerja keras tapi dilandasi rasa senang dan menjadikan bisnis tersebut sebagai tempat untuk salah satu kerja sosialnya. Di sampig itu, ia menerapkan ilmunya di bidang interior architecture untuk menjalankan bisnisnya di bidang property. Berkat kecanggihan teknologi, bisnis HDI itu dapat ia kendalikan dari berbagai negara di mana suaminya bertugas. Karena Marla selalu ingin mendampingi suaminya di mana pun berada, seperti: Mimi lan Mintuno. Sungguh, pasangan yang ideal.
Marla dan suami masih mempunyai impian besar, bagaimana bisa menjadi valuable person, yaitu menyuarakan hewan-hewan terlantar dan membantu orang tua yang kesepian, walau sekarang sudah menjadi donatur dari beberapa organisasi tetap tetapi masih jauh dari yang di harapkan. Marla yakin, impiannya itu bisa terwujud dengan kendaraan HDI ini.
“Live is an adventure, Inilah proses dari Maha Pencipta untuk membentuk kita, menjadi manusia seperti yang kita inginkan. Berat tidaknya itu tergantung bagaimana kita menyikapinya.” pungkas Marla.
Bagi yang ingin mengenal Marla lebih dekat silakan kontaknya IG-nya: @marla.oz