Catatan Pena Hijau Naning Pranoto
Natura duce, errare numquam poteris
Dengan panduan alam engkau tidak akan pernah tersesat
Natura nil agit frustra
Alam tidak akan melakukan yang sia-sia
Natura magistra
Alam adalah guru
Maka
Naturae convenienter vive
Hiduplah sesuai dengan alam
(Carolus Linnaeus, 1707-1778, Ahli Botani Swedia)
Prolog
Saya sependapat dengan kutipan Carolus Linnaeus yang tersebut di atas. Hal itu terjadi melalui proses panjang dalam menyikapi alam, di mana saya belajar berbasis logika, penggalian filosofi dan spiritual maupun praktik ketika saya tinggal di Tatui Sao Paulo Brazil, akhir tahun 90-an. Tepatnya, saya berada di Parque Ecologi Visão Futuro di Porangaba bersama orang-orang dari seluruh dunia yang menamakan diri sebagai neo-humanista (manusia baru). Susan Andrews, seorang psikolog dan juga sosiolog lulusan Universitas Harvard merupakan pendirinya, tahun 1992.
Anggota Neo-Humanista terdiri dari berbagai profesi: dari kalangan ilmuwan, insiyur, dokter, ahli botani, guru, jurnalis, penulis, sastrawan, pendeta, pastur hingga orang biasa. Juga kaum remaja dan anak-anak dari keluarga yang mereka bawa ’merantau’ ke Tatui. Selain itu hadir pula masyarakat biasa, kalangan pendidik (antara lain Maria Madalena Costa Freire putri dari Paulo Freire, seorang tokoh pendidikan Brasil dan teoretikus pendidikan yang berpengaruh di dunia), maupun para tokoh masyarakat (ada dari kalangan konglomerat) warga Brazil. Semua sepakat berikrar sebagai ’penyayang dan pelestari alam’. Action-nya, mereka bersumbangsih mendidik masyarakat termasuk anak-anak di parque tersebut dengan mendirikan Sekolah Alam ’raksasa’.


Mengapa saya sebut demikian? Karena wilayah parque yang mereka kelola merupakan ’hutan’ yang luasnya sekitar 20 hektar ditambah green lab, gugusan Hutan Amazon. Saya sungguh sangat terpesona berada di lingkungan parque dan mengagumi kinerja Neo-Humanista. Itu merupakan sekolah kehidupan saya, kemudian saya terapkan dengan langkah meluncurkan Sastra Hijau untuk Indonesia tahun 2014 didukung oleh Perum Perhutani. Setahun kemudian, atas dukungan Sekolah Alam Cikeas yang dikelola oleh Yayasan Bhakti Suratto dan dimotori oleh Dodi Mawardi, mendirikan Laskar Pena Hijau.
Jujur, walau keduanya berjalan tersendat-sendat karena rendahnya kesadaran masyarakat dalam melestarikan alam, tapi semangat saya tak pernah padam untuk terus mengikuti langkah-langkah neo-humanista yang saya terapkan dalam keseharian maupun gaya hidup: merawat dan menjaga lingkungan secara fisik maupun literasi serta gaya hidup sebagai vegetaris. Buah ranum apa yang bisa saya petik dari gaya hidup yang saya praktikkan? Saya merasa hidup dalam kedamaian dan ketika tubuh saya diserang kanker hingga lima organ abdomen saya diangkat, saya selamat, saya sehat – itu berkat berguru pada alam-Nya!

Berdasarkan penyerapan saya tentang alam dikaitkan dengan pendidikan, pada kesempatan ini saya ’membedah’ sekilas potensi sekolah alam. Dodi Mawardi sebagai narasumbernya. Saya sebut pula Yalti Bahtiar, yang kini bermukim di Melbourne – Australia, mendampingi suaminya yang mengajar di Monash University dan Melbourne University. Perempuan yang berpembawaan ramah, hangat, cerdas dan berkarakter multikultural-islami itu memperkenalkan saya pada Sekolah Alam Ciganjur, sekitar 17 tahun yang lalu. Lembahaga pendidikan tersebut merupakan perintis Sekolah Alam Indonesia, yang digagas dan dikonsep oleh Lendo Novo (1964-2021) alumni Teknik Perminyakan ITB. Ketika artikel ini saya tulis, Yalti Bahtiar sedang ‘bersiap-siap’ merintis sekolah serupa di Kawasan Negara Bagian Victoria bersama rekannya yang berasal dari Afrika. “Masih embrio! Mohon doanya saja. Semoga terwujud.” Harapan Yalti, penuh semangat.

Menurut pendapat saya, yang pernah tinggal di Australia sekitar satu dekade, apa yang diharapkan Yalti dan rekannya bisa terwujud. Dasar pemikirannya, alam Australia, khususnya di Negara Bagian Victoria dan Queensland sangat mendukung dijadikan sekolah alam. Selain itu, masyarakat Australia pada umumnya berkarakter ’penyayang dan penikmat alam dan satwanya’. Ini terbukti, mereka gemar berkemah dan menjelajah bush pada musim panas. Moment tersebut mereka nikmati dan dihayati sepenuh hati. Waktu saya studi di Bond University rajin ikut berkemah dan menjelajah bush serta menjambangi Perkebunan anggur bersama teman-teman dari berbagai negara.

Dari jelajah alam tersebut saya dapat banyak pelajaran tentang lingkungan, khususnya berbagai pohon dan tumbuhan yang ada di Australia. Hal yang paling berkesan saya mengenal Margaret Beth Gott (1922-2022) dan sering diskusi dengannya di green lab-nya di Monash University Kampus Clayton. Ia ahli botani yang meneliti tanaman obat,tanaman umbian dan berbagai pohon tradisional Suku Aborigin yang bermukim di Australia Tenggara. Salah satu bukunya berjudul Koorie Plants, Koorie People.. Berkat Beth saya jadi suka berkebun di gubug saya yang berada di lereng bukit.
*
Babak 1 – 5.000 Pohon di IG Dodi Mawardi
Siapa Dodi Mawardi? Ia penulis dan editor profesional bersertifikat BNSP (Badan Nasional Sertifikasi Profesi). Pria kelahiran Cianjur itu telah menulis lebih dari 60 judul buku, satu di antaranya fenomenal berjudul Belajar Goblok dari Bob Sadino. Buku-buku karyanya, 70% diterbitkan oleh Penerbit Gramedia Group. Ia juga memproduksi buku sendiri dan membantu orang lain menulis lewat jasa co-writer dan ghostwriter. Selain itu, pria yang masa remajanya bersekolah di SMA Taruna Nusantara Magelang ini juga berkiprah di berbagai bidang komunikasi, mulai dari bidang jurnalistik, broadcasting, mengajar, training, sebagai pembicara, MC, hingga wirausaha. Semua bidang tersebut tidak lepas dari latar belakangnya sebagai lulusan Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia. Kini ia menduduki jabatan sebagai Direktur Sekolah Alam Cikeas (SAC) dan SMA Taruna Yatim Nusantara (SMA TYN). Kedua lembaga pendidikan tersebut berada di wilayah Kabupaten Bogor, Jawa Barat di bawah naungan Yayasan Bhakti Suratto.
Dodi Mawardi rajin memposting berbagai kegiatan lembaga pendidikan yang dipimpinnya di IG-nya. Suatu pagi pertengahan Desember 2023, saya membaca postingannya tentang 5.000 pohon yang ‘menghuni’ lahan SAC seluas dua hektar. Saya penasaran dan hanyut dalam deja vu Brazil. Hampir dua tahun lamanya saya tidak komunikasi dengannya. Kemudian ia saya kontak dan spontan dibalas. Kemudian kami janjian untuk berbincang-bincang via WA-Call mengenai pohon-pohon tersebut dan sekaligus membedah pembelajaran di SAC yang dibuka sejak tahun 2006 untuk Tahun Ajaran 2006/2007 membuka empat kelas.
Sesuai dengan Namanya Sekolah Alam Cikeas (SAC), lokasinya memang di Cikeas. “Hanya selemparan batu jaraknya dari rumah Bapak SBY,” – tulis Dodi Mawardi dalam artikelnya yang dipublikasi medio 2012. Tiga tahun kemudian saya berkunjung ke sekolah itu dalam acara mendirikan Laskar Pena Hijau bersama Dodi Mawardi dan teman-teman penggerak Sastra Hijau. . Tentu saja saya berkenalan dengan pendirinya, Suratto Siswodihardjo, sosok purnawirasan TNI, berjiwa sosial, yang menaruh perhatian besar pada dunia pendidikan sekaligus pencinta lingkungan. Maka tak heran, jika SAC begitu terawat, hijau gilar-gilar asri di bawah ribuan pohon peneduh, pohon buah-buahan maupun berbagai tanaman yang dijadikan sebagai green-lab.
Berikut ini bincang-bincang saya – Naning Pranoto (NP) dengan Dodi Mawardi (DM) dalam ‘membedah sekolah alam’ yang dipimpinnya.

NP: Bagaimana caranya mengelola pohon dan tanaman sebanyak itu di atas tanah yang luas?
DM: Ditangani sembilan orang. Selain menyapu, mereka juga merawat pohon-pohon dan tanaman yang ada. Anak didik juga dilibatkan, khususnya untuk green-lab yang dijadikan area ajar tentang alam, pohon dan tanaman untuk menimba pengetahuan maupun kelansungan hidup manusia dan semua makluk lainnya. Itu merupakan pengALAMAN, ruh dari sekolah alam
NP: Selain merawat pohon dan tanaman, dengan cara dan action apa saja pengALAMAN itu dipraktikkan?
DM: Ruang kelas kami semuanya tanpa sekat dinding maupun tembok. Jadi terbuka, menyatu dengan alam.
Apa yang dikatakan DM mengingatkan saya pada Ivan Illich (1926-2002), seorang filsuf dan tokoh pendidikan asal Austria yang menggarisbawahi, idealnya anak-anak kita dalam menjalani proses pembelajaran itu di ruang kelas terbuka, seperti yang diterapkan pada Zaman Yunani Kuno. Selain mendekatkan diri anak didik dengan alam yang membuat pikiran jernih tapi juga menciptakan suasana belajar lebih rileks karena tidak ada sekat tembok atau dinding penghalang. Ada hal yang lebih pentingm lagi, Ivan Illich menekankan, ruang kelas terbuka juga membuat biaya sekolah lebih murah karena mereduksi fasilitas sarana belajar. Dalam hal ini saya mencermati, misalnya tak perlu AC yang relatif mahal bayar listrik. Tentu itu beban yang juga harus ditanggung anak didik melalui bayaran sekolah yang tinggi. Dalam foto tampak, ruang-ruang kelas di SAC terbuka dengan nyaman, tempat duduknya juga demikian. Ruang-ruang kelas itu berupa bangunan-bangunan yang dipisahkan oleh taman dan kebun. Ini seperti yang saya saksikan di Tatui. Meskipun demikian, saya tergelitik dengan satu pertanyaan.
NP: Apa proses pembelajaran di ruang kelas terbuka, anak-anak bisa konsentrasi dengan baik? Maksud saya tidak terganggu oleh suasana sekitarnya – misalnya ada orang yang wira-wiri?
DM: Tidak. Telah kami kondisikan sejak mereka di level play-group. Kedisiplinan telah kami tanamkan sejak dini, tapi tidak dengan pemaksaan. Sehingga mereka sadar dan paham dalam menjalani proses belajar itu bagaimana yang terbaik bagi diri masing-masing dan juga lingkungannya. Semuanya itu kan berkaitan dengan dampak dari pendidikan akhlak yang kami tanamkan secara bijak sebagai komitmen. Itu merupakan salah satu pilar misi-visi yang kami terapkan di SAC. Ada lima pilar.
Jawaban DM mengingatkan saya pada tokoh pendidikan dari Brazil, Paulo Freire yang menyuarakan perlunya ’pendidikan melalui penyadaran kepada anak didik’ agar mereka memahami apa arti belajar itu bagi kehidupan. Masing-masing anak akan berpikir dengan caranya secara bebas. Itulah yang disebut pendidikan yang membebaskan seseorang (anak didik) dari situasi yang ‘menindas’ (dipaksa, diancam hukuman – misalnya). Untuk mwujudkan pendidikan yang membebaskan perlu ada kerja sama antara tiga komponen besar dalam pendidikan yakni pendidik, peserta didik dan dunia atau lingkungan. Apa yang disuarakan Freire saat ini disebut merdeka belajar dan itu diterapkan di Tatui sejak didirikan tahun 1992.
“Merdeka belajar itu pendidik mendudukkan anak didik sebagai mitra. Maka dalam proses mengajar kami menghindari kata ‘harus’ dan ‘jangan’ agar tidak menimbulkan pemaksaan kepada anak didik” papar Desiree Luhulima, praktisi pendidikan di Filandia yang saya kenal dekat. Dengan cara demikian, akhlak yang baik pun terbentuk melalui kesadaran masing-masing anak didik. Menurut saya, berdasarkan paparan DM, SAC telah melaksanakannya jauh-jauh hari sebelum diberlakukan kurikulum merdeka belajar.
NP: Selain pendidikan akhlak yang dijadikan sebagai pilar SAC, apa saja yang lainnya?
DM: Pilar kami ada lima terdiri Pendidikan Akhlak Mulia. Logika Ilmiah. Kepemimpinan. Kewirausahaan dan Kebangsaan. Akhlak Mulia – ini bersifat vertical hubungan kepada Tuhan dan horizontal hubungan kepada sesame. Hubungan vertical sesuai dengan keyakinan masing-masing. Hubungan dengan sesama…nah ini kami mulai dengan bersikap: senyum dan ucapkan salam. Ini basic untuk menciptakan keharmonisan.
Apa yang dikatakan DM membuat saya tersenyum, mengingat waktu saya mengunjungi Sekolah Alam Ciganjur maupun kala berada di Tatui senantiasa disiram senyum dan dihujani salam di sana-sini. Tidak ada wajah cemberut. Dunia pun menjadi benderang menyenangkan. Kebetulan sejak awal saya mengenal DM, orangnya memang murah senyum, maka klop mimpin SAC.

NP: Logika Ilmiah seperti apa yang diterapkan di SAC?
DM: Antara teori dan praktik seimbang. Maka kami mengajak para orangtua tidak memaksakan anaknya kuliah ambil jurusan fakultas tertentu. Kami menghimbau para orangtua agar memberi kebebasan pada putra-putrinya untuk melanjutkan studi di perguruan tinggi sesuai dengan keinginan dan kecerdasan yang dimilikinya. Saya sendiri menyaksikan tidak sedikit anak remaja selepas lulus SMA kurang tepat dalam memilih jurusan karena dorongan orangtuanya. Anak maunya ambil fakultas anu, orangtuanya memaksa ke jurusan yang bukan pilihan anaknya. Maka dari itu, kami membuka konseling mengenai kelanjutan studi sejak mereka di bangku SMP lalu berlanjut ke bangku SMA. Kami buka dialog dari hati ke hati. Alhamdulillah, mem buahkan hasil yang cukup memuaskan. Saya dan rekan-rekan guru bahagia menyaksikannya. Jadi Pilar Logika Ilmiah tercapai misi-visinya.
Menurut Desiree Luhulima, remaja selepas SMA/SLTA tidak semua melanjutkan studi ke perguruan tinggi, ini seperti di Jepang. Di Tatui, mereka lebih tertarik menekuni bidang seni, khususnya teater, film, musik dan tari. Waktu saya di sana bidang seni tersebut memang booming. Entah sekarang. Yang jelas, faktanya, menggali potensi kemampuan diri merupakan kunci bahagia dan itu membuat siapa pun bisa sukses, itu yang saya alami dan rasakan. DM juga sependapat dengan saya, karena secara pendidikan formal ilmu yang dituntutnya di perguruan tinggi agak menyimpang dari profesi yang ditekuninya sekarang.
NP: Nah, bagaimana dengan Pilar Kepemimpinan dan Kewirausahaan?
DM: Kepemimpinan kami bentuk melalui organisasi kesiswaan dan berbagai kegiatan mereka di lingkungan SAC maupun di luar SAC.Sifatnya menanamkan kemandirian, sikap sportif, respek pada orang lain, bisa bekerjasama dalam tim. Nah, bisa nantinya jadi pemimpin. Dari hal kecil, kita budayakan antri – fair kan? Kewirausahaan kita latih melalui potensi kreativitas yang sifatnya diarahkan ke bisnis. Ya, dari hal kecil saja, misalnya punya bakat (nyanyi, menulis, mendesain, akting dll) dikembangkan sebagai profesional, mencipta sesuatu apa itu, Di SAC ada sessi atau Kelas Memasak (Cooking Class) – memasak apa, lalu dijual di lingkungan sekolah. Untuk itu kami sediakan ruangan untuk berkreasi. Anak-anak semangat. Mereka telaten dan disiplin berlatih. Pilar Kebangsaan? Sejak di play-group telah kami tanamkan bagaimana berbangsa. Mulai dari mengarahkan jadi pribadi yang toleran, cinta Tanah Air melalui upacara dan berjiwa Anak Pancasila, berkemampuan berbahasa Indonesia selain kami dukung dengan penguasaan bahasa asing untuk memperkukuh eksistensi dan survive di berbagai aspek.

Bahasa? Waktu saya masih duduk di bangku SMA, jurusan bahasa disepelekan. Mungkin sampai sekarang masih ada juga yang menyepelekan demikian. Padahal, bahasa itu merupakan nadi kehidupan. Bayangkan, seperti apa hidup ini jika tanpa bahasa? Maka saya menyimpulkan, kemampuan berbahasa – menguasai beberapa bahasa, sebagai polyglot, mampu menggegam dunia, karena selaras dengan alam yang dihuni berbagai bangsa yang masing-masing memiliki bahasanya tersendiri. Maka saya tidak berhenti, berguru pada alam. Juga DM dalam memandu masa depan anak-anak di SAC. Selamat berjuang, bro DM!*