SRI WIYONO: TIDAK MAU TERBELENGGU MASA LALU

Bersama Tuhan
Bisa kulalui
Bisa kulakukan

(Sri Wiyono)

Quote ciptaannya tersebut di atas sangat cocok untuk menggambarkan perjalanan hidup Sri Wiyono yang bernama asli Tan Hay Ing, kelahiran Krian – Sidoarjo Jawa Timur. Ketika artikel ini ditulis, usianya memasuki 47 tahun. Penampilannya tampak fresh, kulit glowing dan modis. Tak tampak segores pun derita masa lalunya yang menyisa di garis wajahnya. Karena, ibu dari sepasang putra-putri: Angelina dan Jeffrey itu punya kiat jitu, “Saya tidak mau dibelenggu masa lalu saya yang sangat melukai batin dan martabat saya sebagai perempuan.” Tuturnya lugas. Maka masa lalunya yang kelam ia singkirkan, untuk memberi ruang masa depannya, “Banyak hal yang harus saya benahi dan perbaiki. Khususnya untuk menata keluarga kecil saya maupun keluarga besar saya, ya khususnya membahagiakan kedua orangtua saya.” Sri menggaris-bawahi.

Mengembangkan Sayap Selebar Mungkin

Sri merupakan anak sulung dari empat bersaudara, ketiga adiknya semua laki-laki. Ayahnya punya toko yang mempekerjakan beberapa karyawan laki-laki. Ia berada di lingkungan laki-laki, tapi justru tidak nyaman dan juga tidak aman. “Karyawan ayah saya ada yang pegang-pegang tubuh saya. Tapi saya tidak mengadu pada ayah maupun ibu saya. Saya sangat sakit hati dilecehkan seperti itu!” Tutur Sri menceritakan pengalaman getirnya yang dialami kala menjelang remaja.

Pengalaman pelecehan tersebut membuatnya gerah-geram dan tidak betah di lingkungannya. Faktor itulah yang mendorong Sri berkeinginan melanjutkan studi SMA-nya ke Surabaya. Ibarat seekor burung, ia ingin mengembangkan sayapnya selebar mungkin agar bisa terbang tinggi. Tujuannya, melanjutkan ke sekolah ‘elit’. Berkat nilai akademisnya yang bagus, ia pun bisa diterima di SMA Petra 2 Surabaya dan mendapat beasiswa. Baginya ini suatu kebanggaan, merupakan ‘obat pelipur lara’ akibat pelecehan yang dialaminya. Rasa percaya-dirinya pun mulai bangkit, semangat belajarnya penuh spirit.

“Di Surabaya saya ngekost di tempat yang biasa-biasa saja. Uang saku dari orangtua juga pas-pasan!” kenang Sri. Kondisi tersebut membuat Sri minder terhadap teman-teman sekolahnya yang umumnya dari kelurga the haves. Keminderannya membuat ia mengalami semacam mental breakdown dan culture-shock. “Saya merasa tidak diterima oleh lingkungan saya. Padahal saya ingin berteman dengan mereka. Saya merasa dapat penolakan. Padahal, mungkin tidak seburuk itu. Hanya perasaan saya yang terombang-ambing.” Sri mengenang semuanya itu sebagai pendewasaan diri, bahwa ia harus mampu beradaptasi dengan lingkungannya tapi tetap harus menjadi dirinya sendiri: be yourself!

Jual Daster dan Terayu Cinta Semu

Be yourself, sebuah jargon yang relatif mudah diucapkan tapi sulit dilakoninya, demikian kira-kira yang dirasakan Sri pada waktu itu. Buktinya, ia terbawa arus untuk bisa bergaya hidup seperti teman-temannya yang kalangan the haves. Dampaknya, uang saku dari orangtuanya menjadi cekak. Ia pun berusaha mencari tambahan, dengan cara jualan daster. Darah dagang yang mengalir dari keluarganya membuat Sri terampil jualan daster dan menghasilkan uang jajan yang menurut Sri lumayan jumlahnya.

Sri bersama putrinya, Angel
Sri bersama putrinya, Angel

Ia bisa gaul ke diskotik dan nongkrong-nongkrong bersama teman-temannya di akhir pekan. Meskipun demikian, Sri tidak melupakan jam belajarnya. Sehingga prestasi akademisnya tidak merosot. Baginya, berjualan daster juga menjadi passion-nya. Ia mengerjakannya dengan sungguh-sungguh, maka tahu sasaran siapa saja sebagai pembelinya. “Saya juga tidak malu jualan daster. Malah ada yang menjuluki saya sales.” Sri tertawa mengenang episode kehidupannya itu. “Saya harus bertanggung-jawab untuk memenuhi kebutuhan gaya hidup yang saya perlukan!”

“Selain jual daster, saya juga pernah memberi les mata pelajaran matematika untuk anak-anak SD. Walau honornya kecil, lumayan untuk tambah-tambah income.” Sambung Sri.

Seperti halnya remaja normal pada umumnya, ingin dicintai dan mencintai. Tapi Sri merasa gagal karena tidak mudah mendapatkan pacar. Padahal teman-temannya yang tidak secantik dirinya bisa punya pacar. Untuk sementara waktu, Sri bisa bersabar. Ia fokus belajar, dagang daster dan ke gereja.
Ketika di bangku kuliah ada seorang pemuda yang menyatakan cinta, Sri pun menerimanya. Ia mulai pacaran dan tidak terlalu memikirkan baik buruknya untuk masa depan. Pergaulan bebas membuat hubungan dengan pacarnya kebablasan. Ia baru menyadarinya kalau pacarnya itu bukanlah pemuda baik. Ia pemakai narkoba dan meninggalkan Sri begitu saja. Untunglah, ia bertemu dengan teman-temannya yang membawanya ke pertobatan. Sehingga ia mampu menemukan jati dirinya kembali sebagai Sri yang cerdas dan berjiwa mandiri.
“Pengalaman saya itu, saya ceritakan pada anak gadis saya, agar dia tidak melakukan kesalahan seperti apa yang pernah saya lakukan. Saya begitu bodoh!” Sri berkata dengan nada penuh menyesalan. Anak gadis itu bernama Angelina si Sulung. Ketika artikel ini ditulis, usia Angel 22 tahun dan sudah bekerja di suatu bank di Balikpapan, di mana mereka tinggal.

Menemukan Jodoh dan Karirnya Mulai Moncer

Berpilar pada keyakinan teguh akan kekuasaan Allah yang tanpa batas, membuat Sri mampu bangkit dari keterpurukannya. Masa lalunya yang getir ia singkirkan untuk memberi ruang banyak hal yang harus diperbaiki untuk masa depannya. Baginya pertobatan benar-benar mampu membasuh jiwanya yang kelam, menjadi cemerlang. Sri memasuki masa-masa newborn dengan landasan untuk kembali meraih cita-citanya kala meninggalkan Krian. Bagi Sri masa-masa ini penuh keharuan karena ia berhasil melepaskan diri dari jalan yang salah arah.
Sri jadi pemenang, berperang dengan dirinya sendiri. Ia mendapat bintang kehidupan barunya. Ia mampu meraih gelar S-1, menyelesaikan studinya di Fakultas Ekonomi ambil akutansi. Ia juga menemukan laki-laki yang bisa menerima Sri apa adanya. Laki-laki itu bernama Richie Handoko yang dikenalnya di gereja di kampus.
“Kami sepakat saling menguatkan untuk bisa hidup membina rumah-tangga yang harmonis dan bahagia versi kami.” Tutur Sri dengan nafas lega.

Tahun 2000 Sri menikah dengan Richie. “Kemudian saya diboyong suami ke Balikpapan, kota asalnya.” Lanjut Sri dengan suara riang. Richie tipe pria romantis.

Sri bersama suaminya, Richie Handoko
Sri bersama suaminya, Richie Handoko

Di Balikpapan, tahun 2001, Sri bertemu dengan dr. Sanjaya yang mengajaknya bergabung dengan HDI, Sri tertarik bergabung dengan perusahaan MLM yang memproduksi high desert dari bahan baku perlebahan ini. Karena adanya training-training yang membuatnya tambah wawasan di bidang marketing dan kemitraan untuk saling mensukseskan. Kiprahnya ini membuatnya tidak hanya berkutat di Balikpapan, tapi juga wira-wiri Samarinda, Surabaya, Jakarta dan Bogor. Karir Sri di HDI moncer, prestasi demi prestasi diraihnya. Income terus mengalir, mengkokohkan ekonomi keluarganya.

Sri Wiyono (paling depan mengenakan atasan putih) bersama mitra-mitranya di HDI
Sri Wiyono (paling depan mengenakan atasan putih) bersama mitra-mitranya di HDI

Di samping itu, ia juga membuka usaha kuliner, membuat pudding yang waktu itu di Balikpapan masih langka. Baginya, Balikpapan kota yang menjadi ‘rumah bagi jiwanya’. Alasannya, ada lima: (1) Kotanya sangat bersih; (2) Ikatan toleransinya sangat kuat; (3) Kulinernya enak-enak, khususnya kepiting; (4) Budaya Dayak yang mendominasi, sangat menarik dan (5) Ada penangkaran buaya, beruang madu dan orang utan.

Belajar Estetika Kecantikan yang Sehat dan Berbakti Pada Orangtua

Berbicara dengan Sri, tidak membosankan. Pembawaannya yang riang, berwajah sumringah membuat lawan bicaranya betah. Luka batin yang pernah dialaminya terkubur oleh auranya yang positif, walau ia mengaku masih ada kegelisahan yang menggantung di pucuk harapannya. “Saya merasa belum bisa berbakti pada orangtua sepenuhnya. Maka, ia ingin terus bekerja dan bekerja agar bisa mewujudkan itu.” Paparnya, senyampang mereka masih ada.

Dalam tradisi Tionghoa yang telah berusia ribuan tahun disebut hao, merupakan rules bahwa anak memang diwajibkan berbakti pada orangtuanya, bahkan keluarga besarnya yang telah sepuh, misalnya nenek-kakeknya juga perlu diurusi. Ada sanksi yang dipercaya, jika kewajiban itu dilanggar, maka pelanggarnya akan mengalami hal-hal yang tidak menyenangkan. Misalnya, usahanya menjadi tidak lancar atau terkena musibah tertentu. Maka tradisi tersebut hingga sekarang masih dijalankan, termasuk dilakukan oleh Sri Wiyono dengan begitu taat. Ia rela banting tulang agar bisa memenuhi baktinya pada orangtuanya.

Di samping itu, ia merasa lega, putri sulungnya sudah bekerja dan kini tinggal mengantar putra bungsunya – Jeffrey, lulus perguruan tinggi. Usaha suaminya di bidang perbengkelan juga lancar. Sri juga terus meningkatkan kinerjanya di HDI. Baginya, HDI juga merupakan ‘sekolahnya’ di bidang kecantikan. Yaitu, mendidik dan meluluskan Sri melalui workshop menjadi advisor kecantikan dengan gelar SSAA-Smart Skin Advisor Advanced. Gelar tersebut ia cantumkan pada namanya menjadi: Sri Wiyono, SE, SSAA. Pendidikan yang ditempuhnya di HDI dibimbing oleh para dokter ahli kulit, ahli kecantikan yang juga dokter serta mendalami berbagai bahan alami dari perlebahan untuk kesehatan dan kecantikan kulit. Maka tak heranlah apabila kulit Sri tampak begitu terawat dan siap merawat orang lain yang memerlukannya.

Eksistensi Sri di HDI memang berperan merawat kesehatan diri sendiri mapun orang lain dengan produk-produk premium dari bahan madu lebah yang dilandasi dengan kasih, tersimbol dalam bunga tulip merah dan tulip kuning metafora dirinya.

Sri Wiyono bisa dihubungi melalui IG @sriwiyono1. *

Diterbitkan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Close

Error: Contact form not found.