Komunitas Fotografer As2in1 Hong Kong
Ignis aurum probat, miseria fortes viros
Api menguji emas, kesengsaraan menguji manusia yang kuat
(Seneca – Filsuf, Negarawan dan Dramawan Roma Kuno)
Sekuat apakah jiwa-raga Anda? Jawabannya, rasakan ‘sensasinya’ saat Anda menghadapi masalah. Jika Anda tetap bugar jiwa dan raga, maka layak disebut kuat. Tapi untuk bisa kuat perlu tempaan bertubi-tubi bahkan dalam waktu yang panjang sebagai barometer tahan uji. Wijiati Supari, perempuan muda asal Kediri merupakan salah seorang buah tempaan dan kini ia bak baja yang berkilau emas.
Betapa tidak? Ibu dari anak lelaki berusia 10 tahun bernama Akbar itu walau hanya mengantongi ijazah SMP tapi mampu meraih berbagai prestasi. Awalnya, pada tahun 1998 hanya dengan mengenakan kaos tipis ia mampu menaklukkan bekunya udara Hong Kong, karena agen TKW yang membawanya bekerja ke Negeri Beton itu tak memberitahu bahwa di Hong Kong tengah berada di puncaknya musim dingin. Sehingga Wiji bersama rekan-rekannya nyaris mati beku karena tanpa pakaian hangat.
Tempaan berikutnya, kala ia pindah kerja ke Taiwan nyaris diperkosa majikannya. Berkat jurus perlawanannya yang amat badai ia pun selamat dan bugar-perkasa serta meraih berbagai prestasi memenangi berbagai lomba di bidang penulisan dan fotografi. Pada halaman berikut ini foto-foto karya Wijiati yang memotret dua warior perkasa – pemulung kardus (cardboard grannies) yang dijumpanya di jalanan di Hong Kong.
Berikut ini wawancara Warior dengan Wijiati Supari seputar kegiatannya menulis dan memotret, juga sekilas mengenai Warior Hong Kong yang ia ketahui. Perempuan yang fasih menguasai Bahasa Kanton dan Inggris ini, mengembangkan kedua ketrampilannya tersebut di sela-sela kegiatannya sebagai asisten rumah-tangga dan hobinya bermain drama. Wiji memang sangat aktif dan kreatif, maka ia bergabung dengan berbagai komunitas kreatif yang ada di Hong Kong. Di antara ia menjadi anggota Komunitas Drama KOTEMA, Komunitas Fotografer As2in1 dan Forum Lingkar Pena (FLP) Hongkong.
Warior:
Apa yang mendorong Anda mendalami profesi fotografer?
Wijiati Supari:
Yang mendorong saya mendalami profesi fotografer itu karena saya memang mencintai dunia fotografi dan ingin mengabadikan momen serta jejak langkah saya selama menjadi tenaga kerja Indonesia di luar negeri dengan karya, salah satunya adalah dengan seni fotografi.
Warior:
Sebetulnya, Anda lebih tertarik menulis atau memotret?
Wijiati Supari:
Bagi saya dunia fotografi dan dunia menulis adalah dua hal yang sama menariknya. Karena fotografi itu adalah seni melukis dengan cahaya, sementara menulis adalah seni melukis dengan kata, dan apabila antara fotografi digabungkan dengan karya tulis, menurut saya akan tercipta sebuah karya seni indah yang bisa dinikmati oleh siapapun.
Warior:
Sejak kapan Anda suka menulis?
Wijiati Supari:
Saya menyukai menulis sejak masih duduk di bangku Sekolah Dasar dan itu baru bisa saya kembangkan setelah bekerja di Hong Kong yang tahap kedua. Tepatnya, tahun 2013 saya mulai belajar menulis di Forum Lingkar Pena Hong Kong (FLP-HK). Di tahun yang sama saya sudah mulai terjun di dunia jurnalistik.
Untuk memotret, saya sudah mulai belajar sejak di bangku SMP, pernah belajar fotografi juga waktu itu di kelas ekstrakulikuler, tapi kendalanya belum mampu membeli kamera, dan terpaksa harus memendam bakat tersebut.
Hingga pada akhirnya saya bisa membeli kamera dan kembali memulai belajar sungguh-sungguh ketika saya bertemu dengan Bapak Andi Andreas dan Bapak Bambang Irwanto selaku mentor di Komunitas Fotografi As2in1(Kopi Panas) Telin Hong Kong. Dari beliau berdua saya belajar mengenal tentang bagaimana cara memotret yang baik.
Warior:
Apa target Anda dalam jangka pendek mengasah ketrampian menulis dan seni fotografi?
Wijiati Supari:
Target saya sebelum pulang ke Tanah Air adalah, saya ingin menulis sebuah buku yang di dalamnya ada kolaborasi antara dunia yang saya sukai, yaitu menulis dan fotografi.
Warior:
Obyek apa yang paling menarik untuk Anda tulis?
Wijiati Supari:
Saya menyukai tulisan bertema kisah inspiratif dan jurnalistik. Karena dengan menulis kisah inspiratif, saya bisa terus belajar untuk mensyukuri nikmat yang diberikan Tuhan kepada kita. Sementara menulis jurnal, bagi saya sangat menarik dan penuh tantangan, karena di saat waktu libur saya harus liputan, setelah pulang ke rumah, saya harus bisa mengolah waktu antara bekerja sebagai pembantu rumah tangga dan menjadi kontributor untuk bisa mengirim hasil liputan ke redaksi tabloid.
Warior:
Untuk fotografi, obyek apa yang Anda pilih?
Wijiati Supari:
Saya memilih obyek Warior sebagai obyek fotografi itu karena saya ingin mengabadikan betapa kerasnya hidup di Hong Kong, dan mereka masih harus bekerja keras di usianya yang tidak muda lagi, yang seharusnya di usia itu mereka sudah pensiun menikmati hasil kerjanya di masa muda. Meski sebenarnya mereka sudah mendapatkan santunan dari perintah setempat, tetapi mungkin menurutnya masih belum cukup menutup kebutuhan hidupnya.
Warior:
Mengapa para warior itu demikian?
Wijiati Supari:
Di Hong Kong, ada beberapa faktor para warior membanting tulang di usianya yang sudah renta. Dan kebanyakan mereka adalah pemungut koran bekas, kardus bekas, dan juga kaleng softdrink kosong untuk dijual di penadah. Untuk koran bekas dihargai per 1 kilogram HKD 7 (Rp. 12.600), dan untuk untuk kaleng bekas dihargai 10 sen atau setara dengan Rp 180 rupiah per kaleng.
Alasan kenapa mereka melakukan hal itu biasanya menurut nenek yang saya rawat, ketika di masa muda mereka dulu memiliki berpendidikan rendah, ada yang bilang ketika muda mereka kurang giat bekerja, sehingga tidak memiliki tabungan di hari tuanya, dan karena tidak memiliki keluarga hingga mereka harus berjuang sendirian, serta karena dia memang perempuan mandiri yang tidak ingin merepotkan keluarganya.
Warior:
Apakah mereka bersosialisasi?
Wijiati Supari:
Adapun para warior yang duduk di taman setiap pagi dan sore, itu kebanyakan dari mereka yang ingin mengisi waktunya untuk bersosialisasi dengan orang-orang sebayanya untuk sekadar mengobrol, dan membuang jenuh. Biasanya bagi yang bernasib baik, mereka akan ditemani pembantu di setiap aktivitasnya.
Sebenarnya Warior merupakan salah satu obyek yang saya bidik dari tema “Street Phothography” yang biasa saya lakukan ketika saya mendapat kesempatan keluar rumah atau di hari libur saya.
Warior:
Apa Anda juga merawat warior?
Wijiati Supari:
Saya di Hong Kong merawat warior juga, ibu dari majikan perempuan saya, tetapi tidak tinggal satu rumah. Usianya sudah 70 tahun lebih, beliau adalah seorang seorang traveler yang suka menjelajahi dunia. Beliau juga seorang yang pekerja keras, dan memiliki prinsip hidup luar biasa, yaitu “hiduplah di jalan yang benar, jangan suka mengambil hak orang, karena Tuhan ada satu jengkal di atas kepala kita. Juga semua perbuatan kita suatu saat akan kita pertanggung jawabkan baik dan buruknya.”
Beliau juga guru saya, motivator, dan salah satu orang yang membuka luas pikiran saya tentang dunia. Dulu saya pernah hampir terjerumus di pergaulan bebas, dan beliau orang pertama yang memarahi saya, dan mengarahkan ke jalan yang benar, hingga saya bisa memanfaatkan waktu libur saya sebagai PMI untuk belajar.
Warior:
Apa saja aktivitas Anda di luar pekerjaan Anda sebagai asisten rumah tangga?
Wijiati Supari:
Aktivitas: Sejak tahun 2013 hi gga saat ini saya menjadi anggota FLP Hong Kong dan Komunitas Fotography As2in1 Hong Kong. Saat ini juga saya sedang menjadi kontributor Tabloid Apakabar Plus di Hong Kong. Pernah menjadi kontributor di Koran Berita Indonesia Hong Kong selama 5 tahun, serta pernah menjadi kontributor di Liputan BMI.com selama 1 tahun.
Warior:
Di bidang fotografi, prestasi apa saja yang Anda peroleh? Juga di bidang menulis.
Wijiati Supari:
Karya foto? Selama ini pernah mendapat juara 3 lomba foto yang diadakan oleh Konsulat Jenderal Republik Indonesia di Hong Kong, yang digelar BRI Remitance Hong Kong, dan juga BNI Remitance Hong Kong. Kalau di bidang menulis ya lumayan banyak, antara lain menulis kisah berhikmah dan cerpen yang diselenggarakan oleh ICLaw Jakarta. *