Kisah Berhikmah | Sindy, Perempuan Bertaji

Sindyani Tjondrolukito dan Mike, Si Bungsu

Sindyani Tjondrolukito dan Mike, Si Bungsu


 

          Murah senyum dan energik. Itulah sepasang ciri khas yang melekat pada diri Sindyani Tjondrolukito, perempuan kelahiran Purwokerto 4 April 1948. Kedua tangannya seringkali mengepal kala berbicara seputar perjuangan hidupnya yang sarat dengan kondisi jatuh bangun. Karena kegigihannya dalam melawan rasa takut akan kegagalan yang menimpa berbagai usahanya, membuatnya bertransformasi dari ibu rumah tangga menjadi bak perempuan bertaji. “Demi masa depan kelima anak saya, saya tak pernah merasa lelah maupun takut. Maka doa pun selalu  terucap untuk  senantiasa dekat dengan Tuhan, sumber kekuatan. Berkat doa apula saya bisa  putar otak secara bening, sehingga  bisa  berdagang dengan jujur – fair dan  mendapat kemudahan dalam menjalankan bisnis saya!” tuturnya dengan lantang, mengenang masa mudanya. Kini perempuan yang telah berhasil melewati usia kepala tujuh  dalam kondisi sehat prima,  menikmati tetes-tetes keringat emasnya. Berikut ini lika-liku perjuangan hidupnya yang beraura positif  dan sarat hikmah, sangat layak dijadikan  sumber pembelajaran bagi siapa saja yang ingin hidup bahagia di hari tua.

Menaklukkan Gelombang Emosi

Setiap pasangan suami-istri bisa dipastikan punya masalah dalam menjalin cinta-kasih maupun komunikasi. Demikian pula yang pernah dialami oleh Sindy. Tapi ia enggan menjelaskan masalah apa yang dihadapinya. Ia hanya mengatakan, “Saya tak mau anak-anak saya terlantar. Mereka harus punya masa depan yang baik sesuai dengan pendidikan yang mereka pilih. Maka saya harus berbisnis. Karena dua anak saya tahun tahun 90-an  sekolah di luar negeri. Anak sulung kuliah di Perth Australia ambil jurusan bisnis. Anak kedua kuliah di Jerman ambil jurusan teknik mesin.” Sindy membuka kisahnya, dengan ceria. “Beberapa tahun kemudian tiga anak saya juga  kuliah. Puji Tuhan. Sekarang semua anak saya sudah berhasil menyelesaikan studi. Bahkan saya juga sudah punya cucu.”  Sambungnya disertai derai tawa renyah.  Sepasang bola matanya yang hitam berbinar-binar, mencerminkan ketegarannya dalam menerima takdir sebagai single parent.

Derai tawanya selalu menyertai ujung kalimatnya, merupakan ekspresi pembawaannya yang santai, mampu menaklukan gelombang emosi walau situasi yang dihadapinya tak selamanya manis. Bahkan boleh dikatakan penuh kepahitan. Tapi perempuan yang hobinya berenang itu mampu mengubah kepahitan hidupnya menjadi hal yang menyenangkan, “Saya bekerja dan terus bekerja, mencari peluang bisnis!” itulah kunci suksesnya.

Ia memulai usahanya, tahun 1972 ia membeli kapal penangkap ikan.  Tapi usahanya di bidang perikanan tak berlangsung lama karena awak kapalnya ‘main curang’. Mereka   menjual hasil tangkapan ikan di tengah laut. Maka pada saat kapal berlabuh, hasil yang diterima Sindy tidak seberapa alias merugi karena tidak bisa menutup biaya operasionalnya.   Sindy mengaku kesal tapi tidak marah-marah mengumbar gejolak emosi. Yang ia lakukan, menyetop bisnisnya dan kapal pun dijual. “Karena saya tidak mungkin ikut melaut, menangkap ikan dan mengawasi mereka selama di laut.” Itu alasannya.

Jual-Beli Mobil dan Ditipu Sahabat

Sindy mengaku, doa merupakan pilar untuk menguatkan dirinya yang lemah. Doa juga merupakan peredam emosinya yang membuatnya jadi mampu berpikir bening dan kreatif dalam meneguhkan usahanya.  Gagal usaha di bidang penangkapan ikan, ia beralih jual beli mobil. “Saat itu ada saja orang yang minta tolong saya untuk mencarikan mobil atau menjualkan mobil. Kemudian saya buka ruangan untuk menyimpan mobil dagangan dan lama-lama jadi show-room.”  Demikian kisah Sindy dalam memulai bisnis mobil di Purwokerto – kota kelahirannya.

Karena banyaknya permintaan konsumen yang memerlukan mobil baru dan berkualitas ia pun lalu bekerjasama dengan perusahaan  mobil  terkemuka di negeri ini. Usahanya makin maju dan laris manis ketika ia melayani grup-grup arisan mobil yang memerlukan mobil jumlahnya ratusan.  Selain itu ia juga melayani kantor-kantor yang memerlukan mobil maupun memberikan kredit bagi perorangan. “Selain menjual mobil baru, saya juga menjual mobil bekas.” Papar Sindy. Berbagai segmen pasar bisa ia jangkau, termasuk teman-temannya yang ingin punya mobil dengan cara mengangsur  didasari kepercayaan. Alih-alih menolong banyak konsumen, sahabatnya justru menipunya dan membuat bisnis Sindy bangkrut.

“Mama sempat dikejar-kejar debt collector lho!” Tutur Mikael Prananto,putra bungsu Sindy mengenang masa kecilnya saat usaha ibunya bangkrut. Kenangan tersebut membuatnya menjadi pribadi yang bergaya hidup hemat walau ibunya telah kembali berjaya bisnisnya. Maka, ketika studi ke  New Zealand, Mike – demikian panggilan Mikael Prananto, cari jurusan yang dapat bea-siswa dan cepat kerja. “Mike pilih jadi chef, padahal S-1-nya psikologi. Saya sempat kaget dan kecewa.Kenapa cuma jadi chef?” Sindy terkekeh, “Lulus studi Mike  sempat buka restoran bersama teman-temannya di New Zealand, tapi saya suruh pulang. Tak tega lihat Mike kurus, brewokan, kerjanya non-stop  untungnya tak seberapa.” Sambungnya.

Nikel di Cina,  Cengkeh Di  Ternate

Sindy tak meninggalkan bisnis mobil walau usahanya itu  tak lagi banyak mendulang keuntungan seperti saat  pada puncaknya dan mendapat penghargaan tamasya ke Jepang dari perusahaan mobil yang jadi mitranya. Ia pun pindah ke Jakarta dan  membuka bisnis baru di bidang pertambangan, ekspor nikel ke Cina. Pada mulanya ia bermitra dengan orang Hong Kong dan membuka kantor cabang di negeri yang pernah jadi jajahan Inggris itu, selain di Singapura. Tak lama kemudian kantor cabang yang di Hong Kong ditutup karena mitranya tidak fair dalam berbisnis. Kemudian ia konsentrasi di Singapura bermitra dengan seseorang yang berpengalaman di bidang ekspor  dan melek internet. “Saya buta internet. Juga  tidak begitu paham seluk-beluk ekspor dan kurang menguasai Bahasa Mandarin. Maka saya hire orang yang bisa melancarkan usaha saya dengan sistem komisi. Karena mereka ingin dapat komisi besar maka mau kerja keras dan saya mengawalnya.” Demikian cara Sindy mencari kekuatan untuk mensolidkan bisnisnya.

Tapi, bisnis nikel ke Cina  tidak berlangsung lama karena permintaan nikel hanya untuk membangun fasilitas pesta olahraga. Maka bisnis mobil tetap jadi andalannya,hingga pecahnya krisis moneter tahun 1998. Pasar lesu, sedangkan kebutuhan Sindy untuk membiayai sekolah anak-anaknya dan operasional usahanya tidak bisa dihindari. Ia kembali putar otak dan mencari-cari peluang untuk bisa mendapat bisnis yang mendatangkan untung. Pucuk dicinta, ulam tiba! Seorang kenalannya di Solo – Jawa Tengah, memintanya mencarikan cengkeh ke Ternate. Cengkeh yang dimintanya dalam partai besar untuk dipasok ke perusahaan rokok.

‘Api Kerusuhan’  dan Rejeki di Rumah Hantu

Tentu saja permintaan cengkeh tersebut merupakan kabar gembira bagi Sindy. Apalagi ia dimodali untuk membeli cengkeh yang diperlukan. “Saya senang sekali, berbisnis tanpa modal dan jelas keuntungannya.” Papar Sindy. Sayangnya, pada waktu itu Ternate sedang dilanda amuk api kerusuhan dampak dari adanya bentrok ‘perang suku’ di sana. Hanya sedikit orang  yang berani masuk ke Ternate, di antaranya Sindy.

“Saya terus menerus berdoa, memohon perlindungan-Nya. Rasa takut yang mencekam bisa sirna karena tekad usaha yang keras untuk membiayai anak-anak saya kuliah dan mempertahankan bisnis yang sudah ada. Puji Tuhan, saya mampu!” Sindy mengenang kemenangannya dengan mata berbinar-binar. “Yang membuat saya tidak takut adalah kenalan-kenalan bisnis saya di Ternate yang begitu baik. Dari petani cengkeh, pengepul cengkeh, tukang timbang hingga para pedagang yang saya temui di pasar.” Imbuhnya.

Sindy bersinergi dengan mereka, sepenuh hati. Karena ia yakin, jika dirinya jujur bersikap fair akan punya banyak jaringan dengan orang-orang baik. Sehingga ia memberanikan diri mengontrak ‘rumah hantu’, yaitu sebuah bangunan  yang pernah  ditempati bank, letaknya tidak  jauh dari pantai. Karena lama tidak dihuni maka rusak dan kesannya seram. Seorang kenalan barunya, suami-istri transmigran dari Purbalingga, membantu membersihkan dan merenovasi bangunan tersebut. Proses renovasinya sangat cepat, karena dilakukan oleh orang sekampung – yang telah mentradisi. Sindy lalu menempati rumah tersebut pada suatu malam ketika ia terbangun,  kamarnya dibanjiri air rob hampir setinggi  satu meter. “Pada mulanya saya takut dan kaget sekali menghadapi rob. Akhirnya terbiasa. Bahkan saya juga terbiasa naik kapal ecek-ecek yang nyaris karam ketika dilanda gelombang. Padahal saya bawa uang banyak sekali untuk kulakan. Jika kapal yang saya naiki karam ya…selesailah semuanya. Tamat. Tapi, Tuhan berkehendak lain…saya masih diberi-Nya nyawa panjang hingga sekarang. Semuanya itu berkat kekuatan doa. Saya sangat percaya. Maka saya tak pernah melepas doa.” Teguh Sindy, yang kini mengaku telah pensiun.

Berbagai usahanya telah diserahkan pada keempat putranya. Hari tuanya ia mengandalkan penghasilan dari menyewakan beberapa apartemen yang dibelinya kala masih aktif berbisnis. “Anak-anak saya yang membantu saya mengelola penyewaaan apartemen. Anak perempuan saya satu-satunya tinggal di New Zealand. Dia menikah dengan orang sana!” Sindy menutup sebagian dari kisah hidupnya.

 (Teks dan Foto: Naning Pranoto)

Diterbitkan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Close

Error: Contact form not found.