Sehari bersama ‘Cah Mbeling’ Remy Sylado: Membaca dan Menulis, Membedakan Manusia dengan Hewan

  • Harus punya kemampuan menciptakan beberapa piramida kreativitas
  • Jangan pernah bosan berjuang untuk meraih yang kita inginkan
  • Cerita pop (picisan) dan bahasa alay diperlukan

Selalu necis, bahkan tak salah disebut glamour – demikian kesan saya terhadap penampilan  sosok Remy Sylado yang nama aslinya Yapi Panda Abdiel Tambayong disingkat Yapi Tambayong. Saya mengenal puisinya ketika saya  masih duduk di bangku SMA tahun 70-an, yang dipublikasi di sebuah majalah hiburan dan musik tempat ia bekerja sebagai wartawan. Saya juga membaca novel-novel karyanya. Tahun 90-an baru saya bertatap muka dan berjabat tangan dengannya. Yang mengesankan,  jemarinya penuh cincin akik, seuntai kalung rantai emas menjuntai di lehernya yang kokoh, sorot matanya tajam tapi ia sangat ramah dan jenaka. Sehingga kumis dan brewok tebal yang membingkai wajahnya menguarai lembut  menjadi garis-garis kehangatan seorang seniman linuwih. Lelaki berdarah Kawanua ini lahir di  Makassar 12 Juli 1945. Masa kecilnya di Semarang dan ketika beranjak dewasa ia di Solo. Ini yang membuat pria berdarah Minahasa ini fasih berbahasa Jawa dan bersikap seperti orang Jawa: grapyak dan suka guyonan!

Kegrapayakan dan guyonan-nya   makin terasa hangat dan saya merasa bisa dekat dengannya, kala saya bersama Sides Sudyarto DS berkunjung ke rumahnya, akhir 2008. Ia tidak hanya membuka pintu rumahnya untuk kami, tapi juga membuka hati dan jiwanya. Kami diskusi panjang, berjam-jam, berbagai hal – khususnya tentang bahasa. Saat itu saya menjadi tahu bahwa Remy Sylado yang studi theologi itu seorang munsyi (ahli bahasa). Ia seorang kresten yang  fasih berbahasa Arab dan sekaligus menulis Arab (Arab asli maupun Arab gundul). Ia juga menguasai bahasa kuno dan sekaligus menuliskannya: Bahasa Yunani dan  Ibrani. Bahasa asing lainnya yang ia kuasai Inggris,  Cina, Perancis, Spanyol dan Belanda. Suaranya? Bisa berubah-ubah, menyanyi dengan suara aslinya maupun ‘meniru’ beberapa penyanyi Barat seperti Elvis Presley, Louis Armstrong, Frank Sinatra dan beberapa penyanyi kelas dunia lainnya. Remy Sylado selalu tampil riang, begitu kesan saya: bernyanyi, bercanda, diskusi dari hal-hal ringan hingga kelas berat seperti keagamaan, filsafat dan kebudayaan – semua dilakukannya dengan rileks. Saya banyak berguru berbagai hal darinya. Sides Sudyarto DS tak keliru memperkenalkan saya padanya, Begawan – yang waktu duduk di bangku Sekolah Dasar dijuluki  gurunya bocah mbeling.

Menjadi bagian dari  kenangan manis perjalanan hidup saya berkunjung ke rumah Remy Sylado. Rumahnya  kayu – berukir  khas Kudus, bertengger di bibir sungai berkelok, di wilayah Kabupaten Bogor. Sebagian tubuh sungai ia bendung,  ia bangun panggung teater untuknya berpentas, dirindangi  rumpun bambu. Tiang-tiang rumahnya relatif tinggi, membuat atapnya menjulang. Di dalamnya penuh rak buku, perpustakaan pribadi yang sarat buku fiksi, kumpulan puisi, non-fiksi:  ilmiah murni, ilmiah populer, sederet kamus, filsafat,  teater, theologi, sejarah, senirupa, kebahasaan hingga musik  – dalam berbagai bahasa. Entah jumlahnya berapa ribu koleksi buku Remy Sylado itu. Baik karya sendiri maupun pengarang dan penulis di luar dirinya.

Berbagai jenis alat musik juga menghuni rumahnya selain alat-alat untuk melukis. Semuanya itu kekayaan Remy Sylado sebagai: pengarang besar – sastrawan, penyair, penyair, musikus, penyanyi, pelukis dan dramawan juga sebagai seorang munsyi – ahli bahasa. Semuanya itu membuat Remy Sylado menjadi sosok linuwih dan langka.Dengan segala keterbatasan saya, sejak lama ingin menulis tentang jejak kepengarangannya.  Berikut ini antara lain buah perbincangan saya dengannya, yang saya kutip dari buku karya saya berjudul  BERGURU PADA EMPU KATA-KATA.

Apa kabar Mas Remy Sylado?

Kabar baik. Cuma agak pegal-pegal nih — habis nyuci enam belas jeans (tertawa riang).

Begawan Sastra kok nyuci sendiri…

Saya suka (tertawa lebih riang)

Kita jadi ngobrol  seputar  tulis menulis. Siap?

Ya, siap. Ayo, mau tanya apa?

Mengapa Anda tertarik menulis?

Kenapa tertarik? Sebab menulis itu yang membedakan antara manusia dengan hewan. Hewan tidak bisa menulis. Jadi jika ada orang  yang  hidup di dalam dunia  modern ini  tidak  membaca dan tidak menulis ya sama seperti  hewan. Karena cuma  hewan ndak perlu sekolah tapi mereka  punya sandang, pangan dan papan. Nah yang tidak dipunyai  di dunia hewan itu budaya menulis dan  membaca. Membaca  yang paling utama  dari membaca  semua bacaan untuk keseimbangan otak kanan dan otak kiri itu ya membaca sastra.

Mengapa sastra?

Sebab kita di situ  – dalam sastra berbicara kreativitas  orang dan mengejawantahkan imajinasi yang ada dalam pikirannya.

Apakah Anda masih ingat, mulai kapan ya menulis?

Umur 16 (enam belas). Tapi mulai diterbitkan umur 18 (delapan belas).

Selama dua tahun itu apakah Anda mengalami penolakan-penolakan karya?

Ya, ya — ada. Karya-karya saya waktu itu sudah dimuat di koran begitulah. Buku saya yang pertama diterbitkan oleh ayahnya Umar Kayam (sastrawan – Red). Kalau tak salah waktu itu ayahnya Umar Kayam ya menjadi setaraf kepala Kakanwil Diknas di Semarang.  Waktu itu saya kan tinggal di Semarang – orang Semarang.

Karya yang diterbitkan itu prosa atau apa?

Novel langsung, ya umur segitu –  (tertawa-tawa)  berani mati – karya anak SMA. Waktu itu saya belajar Bahasa Spanyol, menulis novel dengan setting  Minahasa,  di mana orang-orang Spanyol  melarikan diri dari Filipina masuk ke Minahasa. Judulnya  Ina Ni Keke. Akulturasi  orang Minahasa dengan Spanyol di Sulawesi Utara.

Kapan mulai belajar sejarah?

Saya semula tidak suka sejarah. Saya pernah  waktu di SD pernah dimarahi guru  karena tidak bisa menjawab terjadinya Perang Diponegoro (tertawa terbahak-bahak). Senang pada sejarah setelah tahu bahwa sejumlah  kosa kata kita yang berkaitan erat dengan  sejarah. Contoh  bahasa Jawa gedang  ya pisang. Kata itu mulai dipakai   ketika  Perang Diponegoro. Waktu itu Belanda  kelaparan dalam perang menghadapi Diponegoro –   menemukan buah di suatu kebun  dan mereka pun berseru “dankjewel!”  –  dalam bahasa Belanda artinya terima kasih, karena senang mendapat makanan. Sejak itu ada kata gedang – dalam Bahasa Jawa.  Di Solo, ada tempat namanya  Tambak Segaran – segoro yang artinya laut. Padahal tidak ada laut di situ. Nama itu berasal dari kata tabak dan sigaret, Bahasa Belanda  —– karena waktu itu ada toko tembakau dan rokok di tempat itu. Masih banyak lagi kata-kata yang terkait dengan searah, sungguh unik. Saya jadi tertarik belajar sejarah.

Kapan tertarik menulis puisi?

Setiap anak saya pikir kalau jatuh cinta bisa nulis puisi  iyo tho (tertawa lepas). Kalau jatuh cinta  terus nulis puisi. Rekake pinter gitu lho

Mengapa puisi karya Anda disebut Puisi Mbeling?

Itu yang menamakan puisi mbeling  saya sendiri,  untuk membrontak  terhadap puisi yang ada pada waktu itu  – puisi gelap tahun 70-an – puisi yang hanya dimengerti oleh penyairnya sendiri dan iblis. Saya gunakan kata  mbeling karena saya sejak kecil memang dikenal sebagai cah mbeling (mbeling  – kata bahasa Jawa yang artinya nakal tapi cerdas – red). Itu guru-guru saya di SD  tahu, saya ini memang anak mbeling – banyak tanya ini  tanya itu . Apa-apa saya tanyakan karena memang ingin tahu (tawanya menggema). Guru saya mungkin jengkel, tapi saya terus saja suka tanya.

Apakah waktu itu Anda berpikir menulis demi uang?

Ndak juga. Pokoknya mau menulis saja waktu itu. Tidak memikirkan uang. Menulis membuat saya merasa  menjadi orang begitu (serius).

Kapan mulai bermain  teater?

Waktu kecil saya main teater. Cerita natal,  saya jadi anak sapi – cuma anak sapi.  Ya di Betlehem ceritanya, anak  sapi yang waktu layar ditutup malah ketinggalan di panggung, duh kalau ingat lucu sekali  (tertawa ngakak). Tapi ternyata peran  anak sapi waktu itu akan menjadi pilihan untuk saya pelajari, tentang teater. Saya lalu melanjutkan sekolah di  Akademi Kesenian Surakarta jurusan senirupa. Termasuk angkatan ketiga  di Tambak Segaran  di  situ  ada jurusan Akademi Teater Solo,  lalu saya menjadi orang teater dan mengajar teater sampai ke Belanda.

Kapan Anda belajar musik secara serius?

Waktu saya sekolah di seminari.  Sejak kecil saya senang nyanyi. Lalu  belajar theologi  ya belajar musik. Otomatis untuk liturgi.

Apakah menurut Anda siapa saja bisa jadi penulis atau pengarang?

Tidak semua orang bisa menjadi penulis atau pengarang, itu merupakan karunia Ilahi. Tapi, sebagai ilmu  bisa dipelaari. Sudah tersurat oleh Yang Maha Kuasa setiap ilmu bisa dipelajari. Tapi karunia Ilahi memberi nilai lebih (linuwihRed) pada orang yang mendapatkan karunia itu, maka tak boleh disia-siakan.  Saya memanfaatkan semua karuniaNya yang diberikan pada saya dengan segala upaya.

Bagaimana dengan teater?

Juga  bisa dipelajari. Sangat baik untuk pendidikan anak-anak. Di Amerika di Willow Creek Church Chicago Amerika Serikat mementaskan teater setiap minggu, selama 10 menit, untuk refleksi theologis. Pengajaran ketuhanan dan moral. Pelopornya pastor senior Bill Hybell. Peminatnya banyak dari berbagai negara bagian di Amerika Serikat. Sangat bagus, menarik untuk dipraktikkan. Karena tidak hanya  merangsang anak-anak tapi juga  orang dewasa untuk belajar tentang ketuhanan dan semesta.

Apakah menurut Anda sistem itu bisa diterapkan di Indonesia?

Bisa saja. Yang jelas di Indonesia, teater yang berkembang tahun 1942 dipelopori Asrul Sani dan Usmar Ismail yang mendirikan Teater Maya, pendekatannya berorientasi sastra. Bagus sekali. Baca sastra, lalu bermain teater. Sastra merangsang untuk berteater. Sastra terasa makin indah dan bermanfaat untuk berteater.

Ada pihak-pihak yang beranggapan bahwa berkesenian, termasuk menjadi pengarang atau bermain teater tidak bisa kaya – karena tidak mendatangkan uang. Menurut Anda?

Ooo, bukan begitu (sangat serius). Pertama, kita pertama melihat bakat sebagai anugerah ilhahi. Kedua, karena itu anugerah maka  harus bisa menghidupkan pekerjan di bidang seni. Ketiga berpikir – semua pekerjaan  harus menghasilkan. Memang rejeki itu  urusan Tuhan  tapi kita harus  bekerja…untuk menghasilkan sesuatu. Kalau kita tidak, untuk apa bersusah-payah tanpa hasil?  Dasarnya itu.

Mengapa tertarik bahasa?

Saya suka bahasa. Saya senang  bisa empat bahasa yang kata orang sulit menulisnya –  Ibrani, Yunani, Arab dan Cina. Otomatis jadi suka sastra dan  kebetulan yang saya minati menulis. Belajarnya di seminari pula. (Kemudian tertawa) Ada hal lucu waktu saya di SD belaMakanya mbeling kelas 5 SD Negeri belajar Islam. Saya suka. Karena cocah mbeling, kesannya acuh tak acuh, gurunya marah. Saya lalu disuruh menulis Allah dengan huruf Arab. (Berubah serius, matanya berbinar) Saya nulis dengan baik.Bahkan saya tulis pula kata Allahu Akbar. Kemudian gurunya memuji saya dengan berkata, “Lihat cah kresten bisa nulis Arab. Biso diconto.” – Saya memang waktu itu sudah belajar Bahasa Arab. Sejak itu saya dikenal sebagai cah kresten mbeling nanging sembodo.

Apa yang Anda kerjakan saat mengalami writer’s block?

Membaca  atau menyanyi. Saya pertahankan karunia Ilahi yang telah memberi bisa memiliki suara berbeda-beda. Angel (sulitRed)  itu, sinaune. Perlu diasah berbagai kemampuan yang telah kita miliki (tegas). Jangan pernah bosan berjuang untuk meraih yang kita inginkan. Semua bisa dilakukan dengan santai asal serius.

Dengan  kesibukan Anda yang begitu banyak, berapa jam Anda tidur?

Ini termasuk yang meniduri nggak? (Ngakak). (Kembali serius) Yaahhh…berapa ya…tiga jam, empat jam…kebetulan rumah saya dekat masjid. Subuh ya terbangun oleh adzan. Saya nikmati waktu saya.

Apa yang ingin Anda wariskan untuk generasi muda?

Heee… (tertawa ngikik) saya bukan pemerintah yang suka sok mewariskan ini itu. Ben sakarepe generasi muda. (Serius) Saya prihatin sekarang ini kita masuk pasar global semua tatanan sosial budaya instant semua. Ruang publik tidak ada perpustakaan, hanya televisi yang menggoblokkan bangsa – coba nonton sinetron ada peran ibu umur tiga-puluh dua tahun berbaring di rumah sakit tapi masih make-upnya medok, pakai bulu mata palsu susun empat buatan Purwokerto (tertawa ngakak) – anaknya hampir sebaya bicaranya Bahasa Betawi yang tidak karuan. Apa itu? (kecewa). Ya sudahlah….

Berapa judul buku yang telah Anda tulis?

Maaf, saya  tidak hafal. Tahun lalu (2013 – 2014)  saya berhasil menulis novel empat judul, antara lain Perempuan Bernama Arjuna – filsafat dalam fiksi. Baca dong…itu nanti akan berkembang.

Anda juga menyusun kamus dan ensiklopedi?

Iya, beberapa kamus dan ensiklopedi. Antara lain Ensiklopedi Musik, Kamus Seni Rupa, Kamus Bahasa Minahasa dan Kamus Isme-Isme. Sempat juga ikut menyempurnakan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI yang diterbitkan Badan Bahasa – Red) yang sempat ada isinya  yang ngaco mengartikan apologetica  (baca: apologetika, dari bahasa Yunani)  itu ‘bersifat pemaaf’. Aduh. Padahal bukan itu artinya (semangat) – yang benar artinya sebuah pembelaan dan juga pertanggungawaban kebenaran yang kita imani. Banyak kata-kata di KBBI yang perlu dibenahi dan saya ikut membenahinya. Maka nama saya dicantumkan dalam edisi KBBI yang baru.

Berapa lama Anda biasanya menyelesaikan suatu novel setebal empat ratus halaman?

Tiga bulan. Setting benar-benar harus dirinci. Biasanya saya catat detail – misalnya saya gunakan setting suatu gedung bertangga di Paris, tangganya saya hitung benar-benar. Saya selalu ingin akurat.

Nonstop nulis?

Oh…tidak (santai, lalu tertawa) sambil dolan-dolan. Pulang dolan ngetik lagi. Ya kerja dengan happy kan karunia Ilahi. Saya menikmati pekerjaan apa pun yang saya kerjakan.

Saya dengar Anda mengetik naskah  dengan mesin tik baru dipindahkan ke komputer, begitu?

Ya, memang begitu. Saya suka. Yang penting hasilnya. Orang menulis kadang bertahun-tahun. Saya menulis  tentang Melbourne hanya satu minggu. Itu waktu saya ngajar di Melbourne University, langsung saya menulis.

Tidak jenuh terus menulis?

O, tidak. Karena bidang saya bermacam-macam. Kalau satu bidang ya mungkin jenuh. Lagi pula mengapa jenuh? Ini pekerjaan menyenangkan.

Bagaimana Anda menyikapi karya-karya pop?

Bagus. Positif. Kan pengarangnya masih belajaran nanti juga akan berkembang dan meningkat lebih bagus. Banyak yang memvonis karya-karya pop itu jelek, ini – itu, tapi yang memvonis tak bisa menulis. Biarkan teenlit dan chicklit ada dan hidup. Kita bersikap positif. Nanti kan berkembang menjadi berkualitas karya si pengarang pop itu. Pembaca juga perlu diberi ruang ada yang suka baca cerita pop.

Bagaimana dengan munculnya bahasa alay? Apakah itu merusak Bahasa Indonesia?

Itu juga positif. Bahasa alay tidak merusak Bahasa Indonesia. Misalnya kata ciyuscemungud, itu sepuluh tahun mendatang akan melengkapi Bahasa Indonesia dan ada di dalam KBBI seharusnya. Karena, contoh…kata ‘roti’ itu juga lahir dari bahasa alay yang dicetuskan tukang roti Betawi yang menawarkan dagangannya: broodti – maksudnya roti, brood adalah bahasa Belanda dari roti. Akhirnya lahirlah kata roti. Ini bahasa alay. Bahasa alay akan memperkaya Bahasa Indonesia.

Apa manfaat belajar musik?

Mempelajari diksi. Mengasah rasa dan budi. Ada suara Ilahi di dalamnya. Kita harus dengar dan memahaminya.

Apa makna retorika  dalam sastra bagi Anda?

Saat menulis puisi dan membaca puisi perlu menguasai retorika. Jangan bergaya monoton. Saya lihat orang baca puisi Chairil Anwar gayanya sama begitu…(tangannya mengepal, matanya melihat ke depan) wah…(tertawa ngakak). Cobalah tampil dengan gaya lain. Belajar retorika perlu.

Bagaimana caranya untuk tetap aktual dan eksis sebagai penulis atau pengarang?

Kreativitas itu piramida dan kita ada di puncaknya. (Serius) Jangan hanya memiliki satu piramida, agar bisa melompat dari puncak satu piramada ke puncak piramida lainnya. Dengan kata lain, harus terus berkreativitas yang lama ditinggalkan untuk menciptakan yang baru — maka akan tetap aktual dan eksis. Atau, membangun piramida yang berbeda dari yang ada – banyak bertaburan. Misalnya saat ini, banyak yang menulis tentang kesepian. Perhatikan, hukum evaluasi.

Ada tambahan tips agar tetap kreatif?

Iya. Kreativitas kan  anugerah Ilahi  jangan cengeng dalam mengaktualisasi diri. Jangan berhenti membaca sebanyak-banyaknya, berbagai hal. Apa yang dibaca itu diserap, bukan dihafal seperti beo. Apa yang kita baca sarinya menjadi milik kita dan gunakan itu. Jangan menjadi beo.

Anda memperoleh banyak kekayaan – materi dari kerja seni Anda?

Wah (membelalak) saya tak berpikir kaya atau miskin. Karunia Ilahi membuat saya bahagia (tersenyum lebar).

Terima kasih. Salam Pena.

 

Sebagian Karya Novel Remy Sylado yang saya ketahui dan saya baca

  • Siau Ling, 1999
  • Cau-Bau-Kan, 1999
  • Kerundung Merah Kirmizi, 2002
  • Kembang Jepun, 2003
  • Parijs van Java, 2003
  • Menunggu Matahari Melbourne, 2004
  • Sam Po Kong, 2004
  • Pangeran Diponegoro, 2007
  • Namaku Mata hari, 2011
  • Perempuan Bernama Arjuna, 2014

 

 

Diterbitkan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Close

Error: Contact form not found.