Prof. M.P. Lambut, Ems: Putra Kapuas Pembawa Pesan Damai

Gaya Hidup Sehat


Berpayung langit biru semburat putihnya awan dalam suasana hangat Penulis  melangkahkkan kaki menuju Komplek Perumahan Dosen Cenderawasih di jantung Kota Banjarmasin.  Berjajar-jajar rumah tembok di sana, tapi ada satu rumah kayu yang bertahan berdiri anggun berusia sekitar setengah abad.  Prof. M.P. Lambut, Ems adalah penghuninya. Pada saat tulisan ini diturunkan, akhir Maret 2019, usia lelaki kelahiran  Kampung Dahirang Kuala Kapuas Kalimantan 88 tahun.

Lelaki ayah dari dua  putra dan dua  putri itu tak menampakkan aura lelah walau usianya memasuki kepala sembilan. Tubuhnya yang jangkung punggungnya tidak melengkung. Suaranya lembut tapi tegas tanpa hambatan pita suara pegas. Alur bicaranya sangat komunikatif disertai ingatan tajam  runtut kala menceritakan masa kecilnya hingga menjadi dosen lebih dari setengah abad.  Tampak sekali bahwa lelaki yang bernama lengkap Melkiannus Paul Lambut ini  seorang ahli wicara sebagai pengajar yang berprestasi tiada henti: sebagai dosen selama 54 tahun tak pernah jeda. Ketika tulisan ini diturunkan lelaki yang akrab dipanggil  “Pak Lambut”  ini mengajar di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, mengajar Sastra Inggris dan Ilmu Budaya Dasar di Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin Kalimantan Selatan.

Dibesarkan Alir Sungai Kapuas

Mengalir seperti air – itulah cerminan hidupnya selaras dengan akar budayanya sebagai putra Dayak yang lahir, tumbuh dan dewasa di rumah panggung beratap daun  rumbia berdinding kajang, berdiri di tepi anak sungai Kapuas Murung berinduk pada  Sungai Kapuas dan Sungai Barito. Sepertihalnya permukaan air yang tenang, Pak Lambut menghindari konflik. Maka tak heran jika ia pernah mendapat gelar Datuk Cendekia Hikmadiraja oleh Kesultanan Banjar. Karena ia diteguhkan sebagai pengabdi semua orang tanpa melihat suku dan agama. Pak Lambut pancasialis sejati!

Ia lahir dari pasangan Winfried Lambut seorang guru misi dan Mile Toewe seorang ibu rumah-tangga yang melimpahkan kasih sayangnya untuk keluarganya secara penuh dengan bahasa kasih. Maka,Pak Lambut kecil sejak kecil telah memahami arti kasih, yang membuatnya tumbuh sebagai pribadi yang toleran. Ketika merantau ke Yogyakarta untuk menuntut ilmu di Universitas Gajahmada pada akhir tahun 50-an ia mudah sekali beradaptasi dengan gaya hidup pluralism. Inilah yang membuatnya tidak ragu menikahi gadis Jawa, Rr. Francisca Moeprapti.  Ikatan perkawinannya hingga hampir lima windu. Istrinya meninggal 30 Oktober 1995.   Sejak itu Pak Lambut hidup sendiri tapi dalam balutan kenangan perkawinan yang indah.

Mengunyah Umbut dan Minum Air Sungai

Hidup sehat dan produktif  di hari tua merupakan investasi di masa muda. Demikian pula dengan Pak Lambut. Pola makan sehat telah ia terapkan sejak kecil. Ibunya sangat peduli menjaga kesehatan putra-putrinya dengan  mengadaptasi dari alam dan kearifan lokal lingkungannya. “Saya sejak kecil mengkonsumsi ikan sungai dan sayuran yang tumbuh di alam sekitar kami. Jadi kami tidak memelihara ikan, juga tidak menanam sayuran. Semua sudah ada  berkat dari Alam, dari Bumi itu semua dari Tuhan.” Papar Pak Lambut dengan semangat yang penuh nostalgia.

Kala itu permukaan air sungai masih sebening kaca, hutan tropis masih merimbun. Tapi sekarang Pak Lambut merasa kehilangan keduanya. “Padahal dulu kami minum air sungai yang kala ditenggak begitu sejuk, menerbitkan rasa damai.” Kenang Pak Lambut.

Sungai, sungai dan sungai bagi Pak Lambut adalah alir yang mengiringi kehidupannya. Selain minum air sungai, ia juga naik perahu sebagai alat transportasi dari desanya menuju ke kota-kota bahkan mengantarkan merantau jauh ke Yogyakarta. Tapi satu hal yang membuatnya tak lepas dari ingatannya ia dibesarkan oleh sayur paku-pakuan, daun katuk, labu kuning dan umbut sebagai menunya. Umbut adalah batang muda atau pucuk dari pohon kelapa dan sejenisnya, selain mengandung protein juga berserat tinggi dan lemak nabati. Pak Lambut hingga sekarang mengkonsumsi umbut sebagai sayur  bening yang dicampur labu kuning dan katuk. Sebagai pelengkap menu mengkonsumsi buah melon, semangka dan papaya. Dengan pola makan seperti itu ia merasa sehat dan bugar.

Awet Muda Berkat Lagu dan Pena

Penuh syukur dan sadar posisi merupakan kata kunci untuk menempuh hidup yang selaras.  “Nah saya sebagai pengajar ya pekerjaan saya mengajar saja. Itu tugas saya melayani!” tegas Pak Lambut. Sebagai pengajar ia menulis beberapa buku untuk meneguhkan keilmuannya. Untuk bisa menulis buku-buku ilmiah selain penelitian ia juga banyak membaca referensi dan membaca alam. Salah satu judul buku karyanya yang sangat penting adalah Manusia dan Masyarakat Sungai. Buku ini meneguhkan eksistensinya sebagai  ahli sungai – keahlian yang sangat langka.

Ada stigma yang mengatakan, ilmuwan itu hidupnya kering karena terlalu serius dalam menjalani profesinya. Tidak demikian dengan Pak Lambut. Ia pribadi yang santai, riang dan memandang hidup ini sangat cair. Sangat mungkin dampak dari hobinya yang gemar mendengarkan lagu-lagu kroncong, lagu-lagu Barat Klasik, berbagai lagu daerah dan lagu-lagu rohani. Maka tak heranlah jika ia mengoleksi lebih dari 200 keping piringan hitam yang membuatnya gemar menyanyi. Hampir setiap saat ia bersenandung, bahkan melatunkan lagu-lagu kesayangan dengan penuh ekspresi jiwa.

Selain menyanyi, baginya menulis bukan sekadar untuk melahirkan karya. Tapi juga sebagai ekspresi penghayatan pada obyek yang ditelitinya. Sehingga Pak Lambut tak merasa lelah dikejar deadline misalnya. Atau ia juga tidak pernah merasa stress karena ditekan target jumlah buku yang harus ditulis. Apa yang ia kerjakan selaras dengan lingkungan alir-alir sungai di sekitarnya. Sangat mungkin ini yang membuatnya tetap eksis dan berprestasi di hari tuanya. Ia merupakan warior – warga senior yang kiranya patut kita teladani.

Laporan     : Cornelia Endah Wulandari

Editor        : Naning Pranoto

Fotografer dan Pejuang Literasi : Muda Sagala

Diterbitkan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Close

Error: Contact form not found.