Bapak Prof. Dr. Emil Salim mengatakan bahwa pengaruh terbesar baik buruknya perkembangan seorang anak bergantung pada pada orangtua dan lingkungannya. Demikian pula dirinya. Beliau lahir dan tumbuh dewasa pada zaman penjajahan Belanda. Pengalamannya yang paling dalam di hati adalah di sekolah. Pada masa itu penduduk terbagi dalam empat golongan yaitu Eropa – golongan tertinggi, Indo, Timur Asing (India, Jepang dan Cina) dan Pribumi. Bapak Emil Salim termasuk Golongan Pribumi dan itu yang terendah.
Sebagai pribumi, di masa kecilnya kala tinggal di Banjarmasin – Kalimantan Selatan, ikut ayahnya yang bertugas di sana, punya pengalaman pahit. Waktu itu Bapak Emil Salim bersama teman-temannya anak Eropa ke restoran. Di antara teman-temannya hanya dia yang berkulit gelap. Saat semua temannya masuk ke dalam restoran ia di tahan. Teman-temannya membelanya. Penjaga restoran menunjuk papan pengumuman yang bertuliskan, “Anjing dan Pribumi Dilarang Masuk”. Kaum pribumi derajatnya disamakan dengan anjing. Pada waktu itu Bapak Emil Salim belum paham arti diskriminasi. Kemudian beliau menyuruh teman-temannya masuk ke restoran dan Bapak Emil berlari pulang ke rumahnya dan mengadu kepada orang tuanya.
“Kamu berkulit cokelat, disebut pribumi – bangsa yang dijajah Belanda. Tetapi , otakmu tidak cokelat. Otak mu sama dengan yang lain. Jadi buktikan walau kulitmu kulit cokelat, tapi otakmu tidak kalah dengan mereka yang berkulit putih.” Kata ayahnya, yang bernama Baay Salim. Perkataan itulah yang membangun semangat Bapak Emil Salim untuk menjadi sosok hebat.
Semenjak itu, Emil Salim kecil selalu mengingat perkataan ayahnya agar menunjukkan otaknya sama dengan orang kulit putih, bahkan harus lebih hebat. Waktu itu alat tulisnya masih menggunakan batu tulis. Beliau berusaha secepat mungkin terutama pada saat pelajaran berhitung bisa menyelesaikan paling dulu, agar menjadi nomor satu terutama di bidang matematika.
Bapak Emil Salim juga mendapat dorongan menempuh pendidikan setinggi mungkin dari ibunya,yang bernama Siti Syahzinan dari Nagari Koto Gadang. Padahal ibunda Bapak Emil Salim hanya menempuh pendidikan setingkat Madrasah.. Beliau belajar menulis Latin dan berbahasa Belanda dari suaminya. Ibu Siti memang perempuan hebat. Maka berusaha keras menyekolahkan putranya agar menjadi pemuda terpelajar. Buahnya memang manis. Putranya terbukti menjadi salah seorang putra terbaik Indonesia yang berprestasi lingkup internasional sehingga menjadi Bapak Bangsa..
Kepada generasi muda beliau berpesan agar rajin membaca dan menulis serta mengikuti perkembangan teknologi yang terus melesat. Walau kita kulit berwarna, otak sama dengan manusia kulit putih atau warna lainnya. *
