Penulis: Taufiq Ismail
Sesudah Resonansi, kumpulan puisi bertiga Yeni Fatmawati (20 sajak) dengan Donny E. Saputra (24) dan Lies Wijayanti SW (22), yang terbit Januari 2016, kini Yeni tampil sendiri dengan buku puisi Aku Perempuan, Musafir-Mu yang anda pegang ini, 29 puisi, Januari 2018.
Sebagai penyair yang peka terhadap masalah kemasyarakatan, sensitivitas Yeni terhadap apa yang bergolak di media sosial terutama sekitar satu dasawarsa belakangan ini tergambar dalam puisinya Medsos ini:
Medsos – media sosial: suatu keniscayaan
Cawan teknologi untuk berbagi pengalaman
Nampan kemajuan zaman berbagi kisah kehidupan
Tak jarang si cawan dan si nampan dijadikan ajang perang
Tembakkan senapan dusta dan lemparan bom-bom fitnahan
Orang bilang, medsos bagian dari demokratisasi
Aliran suara deras yang tak dapat dibendung dan dikebiri
Akan menumbuhkan konflik panas kala arus balik memverifikasi
Kawan, bukan dusta, bukan sebatas prasangka apalagi menghakimi
Berita dusta dibaca berjuta dan milyar mata hati
Dosa jariyah?
Berita bohong, isu kosong dan fitnah meracun direspon nirnalar
Maka terbaca jelas di linimassa medsos kearifan kerap menyasar
Layar laptop pun dipenuhi caci-maki dan umpatan frasa kasar
Jemari rakyat biasa hingga tokoh masyarakat
menulis huruf menggusar
Fenomena sosial?
Tetapi kejengkelan dan kerisauan Yeni diatasinya dengan menyarankan jalan ke luar yang positif:
Well, sikapi saja dengan bijak tak perlu emosional
Mari, cawan dan nampan medsos jadikan saja
kelas pendidikan nonformal
Linimassanya dibernasi tulisan kisah-kisah gemilang inspirasi halal
Medsos tak bisa melepas, telah menjadi bagian dari insan nafas
Murnikan dengan kearifan agar kita lepas dari dosa panjang kebas.
Kedekatannya dengan alam, kreasi Sang Maha Pencipta terasa sekali (Sang Alam), dengan rasa haru tiada terhingga:
Berkelana ku berkelana
Kususuri alam kuasaNya
Kujelajahi keagunganMu
Kudaki gunung tinggi
Ketelusuri lembah bukit dan ngarai
Masya Allah
Memandang ku memandang
Takjubku atas ciptaMu
Syukurku tiada batas atas NikmatMu.
Dalam sajak Kidung Embun keindahan subuh hari bergabung dengan nikmat ibadah bersama imam, sang suami:
Sungguh indah subuh berjamaah
Menghadap-Mu dengan khidmat
Untaian doa melafal terasa nikmat
Bersamamu, kekasih – imamku
Melepas mukena, membuka jendela
Bulir-bulir embun berkidung membelai daun-daun
Kusentuh tetesnya yang sebening bola mata bidadari
Membiaskan berkah-Nya, menyulam bahasa cinta.
Yeni Fatmawati, sesuai dengan profesinya sering sekali melakukan perjalanan ke berbagai negara, yang dicatatnya dalam baris-baris sajak, dan hal ini langka terjadi dengan banyak penyair lainnya. Pembaca karyanya (Baitullah) akan ikut terharu mengikuti jejaknya di lantai Masjidil Haram:
Ya Ilahi Rabbi
Betapa agung dan mulia Rumah-Mu
Tak terasa berlinang air mata
Mengalir deras menggores pipi
Wahai Tuhan yang Maha Mengampuni
Sadar diri, berlumur dosa aku ini
Pagiku tak senantiasa terhias zikir pada-Mu
Siangku tak selalu dalam iman teguh
Malamku pun jarang berlinang airmata sesal dan taubat
Ya Rabbi, ajari aku bersyukur untuk semua yang kumiliki
Tiada arti diri ini di hadapan-Mu ya Rabb
Aku hanyalah sebutir pasir di gurunMu yang luas membentang
Sehelai debu setiap saat siap diterbangkan angin
Ibadahku bak sepercik air tiada dapat padamkan api neraka-Mu
Bukakan untukku, keluargaku, sahabatku pintu ampunan-Mu
Mudahkan urusan kami dan karuniai kami berkah rezeki-Mu
Ya Allah Ya Tuhanku
Pertemukan kami kelak dalam surga-Mu…
Salah satu bagian dunia yang sangat sensitif dan penting dikunjungi adalah kiblat pertama umat Muslim, yang dicatatnya dengan penuh keharuan (Baitul Maqdis: Kubersujud) berikut ini:
Di penghujung sepertiga malam
Menyusuri lorong-lorong kota lama
Menjejak kaki di liku lorong-lorong yang sepi
Menuju titik cahaya Kota Suci, sujud doa menyertai
Melintas dalam bayangan merunduk
Sejarah panjang meruah merah darah
Simbah air mata perjuangan Rakyat Palestina
Menoreh luka dalam menganga hingga kini
Di atas Tanah Suci itu, kawan
Di tanah tumpah-darah mereka jadi orang asing:
Dalam ikat-ikat jeruji dominasi serdadu Israel
Di Kota Suci ini – tahta Baitul Maqdis dalam paksa kuasanya
Ribuan pasang kaki menginjak-injaknya
disertai acungan api senjata
Sangat menyayat hati saksikan Masjid Suci ternodai
Terayun langkahku, di atas karpet empuk merah
Hamparan-Nya mengharu jiwaku tak tertahankan
Airmata pun membunga bahagia di mata hati dan raga
Menetes basahi sajadah, hadirkan lukisan kitab masa:
Di masjid ini Rasulullah mengangkasa ke Langit Agung
Berjumpa dan bersujud pada Allah – Yang Maha Kuasa
Air mataku terus menderas hingga kuucap salam
Di akhir shalatku.
Dalam perjalanan hayat di dunia ini, terasa betul bahwa Yeni sungguh seorang pejalan, seorang musafir muslimah yang faham makna kehidupan yang dilangkahkannya (Aku Perempuan, Musafir-Mu):
Tuhanku,
Karena Engkau aku menjadi tak sekadar berkubang duniawi
Air mataku menetes, ya Allah kalau Engkau jadikan aku pohon
Sosok Pohon Kasih Sayang, berdaun cinta dan berbuah kebahagiaan
Daun-daunku pun merindang,
Sesamaku berteduh dan bersandar di batangku yang hangat
Semesta merangkulku, rumput hijau menggelar jadi pijakanku
Ya Allah, Engkau sungguh menimangku dalam kemuliaan-Mu
Aku musafir-Mu
Aku bersimpuh dikaki-Mu.
Dan kebahagiaan dicari dan dimohonkan kepada Yang Maha Memberi, agar dalam pelayaran menempuh samudera kehidupan, rumah tangga kita dikaruniaiNya angin buritan yang menyegarkan (Menara Rumah Tangga):
Seharusnya kita:
Saling berbagi, saling mewarnai
Mengokohkan kelebihan, menguatkan genggaman
Menutupi kekurangan ‘tuk mewujudkan kesempurnaan
Keikhlasan menerima pasangan:
Adalah keindahan apa adanya
Kita hanyalah manusia biasa yang jauh dari sempurna
Padukan dua unsur menjadi kekuatan yang tegak mempilar
Harap keridhaan dari Allah ‘tuk meniti masa depan gemilang
Ketika bahtera rumah tangga itu melaju
Biduk pun berlayar lepas mengarungi samudera tanpa batas
Dalam pelayaran terkadang diterjang badai besar yang menghantam
…..Mohon diberi seseorang
Penenteram hati, penenang jiwa
Dia yang selalu ada dan terus ada
Menjaga kehormatan diri
Meneguhkan langkah dan saling mengingatkan dalam beribadah.
Yeni Fatmawati, penyair kelahiran Bandung (5 Januari 1971), dengan latar belakang pendidikan hukum dan bisnis di Fakultas Hukum, Universitas Padjadjaran (1994, cum laude), Brussels European Training Institute (2010) dan Harvard Business School (2011).
Dia berkarir dalam bidang agrobisnis, lembaga riset, perusahaan swasta PT Unilever Indonesia, PT Sarihusada, PT Finance Indonesia, PT Coca Cola Indonesia , Hadiputranto, Hadinoto & Partners Law Office.
Sejak kecil sampai umur mahasiswa sering memenangkan lomba baca puisi, menjadi eksekutif produser album musik rock, memenangkan Anugerah Musik Indonesia (AMI) 2015. Penyair banyak bakat ini juga melukis dengan teknik cat akrilik di kanvasnya.
Yeni ibu dari Reihan dan Naura, dua anak remaja. Penyair ini isteri Fahmi Idris, aktivis semasa mahasiswa, politisi senior, Menteri Kabinet Presiden Habibie dan Kabinet SBY-JK dan pebisnis terkemuka Indonesia.
Dengan kekayaan latar belakang hukum, bisnis, musik dan seni rupa tersebut kita berharap dan mendoakan penyair Yeni Fatmawati terus kreatif dan produktif menulis puisi. Semogalah. Amin. ***
Jakarta, 19 Desember 2017.