MEMORABILIA AMARA: Puisi Pilihan bagi Jiwa-Jiwa Berbahagia

Menulis puisi adalah obat alami.  Puisi membantu kita  merasa hidup lebih dari hidup daripada mati rasa.

(John Fox – Psikolog dan Penyair Amerika Serikat, antara lain menulis buku  Poetic Medicine: The Healing Art of Poem-Making)


Puisi adalah seni tertulis –  merupakan karya sastra,  demikian secara singkat  definisi tentang puisi yang dianggap sahih selama ini. Fungsinya antara lain untuk berekspresi, memperhalus jiwa dan protes masalah sosial. Sejalan dengan perkembangan iptek yang mengubah gaya hidup manusia, fungsi puisi semakin luas, antara lain untuk terapi. Hal tersebut dipaparkan oleh seorang psikolog yang juga penyair Amerika Serikat (AS), yaitu Prof. John Fox. Setelah mendapat sertifikat profesional sebagai  Poetry Therapist ia mendirikan Institute for Poetic Medicine. Lembaga tersebut selain menerbitkan buku,  menyelenggarakan workshop, talkshow, juga  memberikan jasa pelayanan terapi melalui menulis dan membaca puisi bagi siapa pun yang mengalami ‘gangguan’ jiwa dari tingkat ringan (stress)  hingga tingkat  berat (depresi). Ia juga menulis buku yang sangat laris berjudul Poetic Medicine: The Healing Art of Poem-Making.  Selain itu ia juga memproduksi video yang berisi tips-tips tentang pemanfaatan puisi sebagai ‘obat alami’ bagi jiwa-jiwa yang mendamba hidup berbahagia.

Sebetulnya, John Fox bukanlah  orang pertama di AS yang memanfaatkan puisi sebagai terapi. Sastrawan Edgar Allan Poe (1809 – 1849) telah melakukannya ketika ia mengalami depresi berat dampak dari meninggalnya orang-orang kesayangannya. Baginya, menulis puisi untuk melepaskan dirinya dari kecanduan minuman keras, insomnia dan sesak nafas. Jejak Allan Poe diikuti oleh para veteran Perang Vietnam untuk mengembalikan goncangan jiwa  pasca menghadapi medan perang di Vietnam  yang relatif panjang (1957 – 1975). Di antara para veteran perang tersebut terdapat  John Mulligan yang menulis buku berjudul Shopping Cart Soldiers untuk menghilangkan traumanya yang menghantuinya mengundang bunuh diri. Setelah menulis puisi dan prosa, sebelum meninggal tahun 2005 ia mengaku bisa menjalani hidup normal. Putrinya semata wayang menjadi saksi.

“Ketika mengalami kehancuran, kita bisa menciptakan sesuatu yang indah melalui tulisan,” kata Maxine Hong Kingston, novelis dan juga esais serta pengamat ampuhnya terapi melalui tulisan, antara lain puisi. Salah satu yang jadi obyek pengamatannya adalah John Mulligan yang tak lain sahabatnya.

Lalu, apa hubungannya kisah-kisah di atas dengan kumpulan puisi berjudul Memorabilia Amara  dalam buku ini? Jawabannya adalah, buku yang sedang berada di tangan Anda  berisi  206 judul puisi,   ditulis oleh seorang dokter spesialis saraf – Dr. dr. Arman Yurisaldi, MS, Sp.S, sebagai ‘obat alami’ bagi jiwa-jiwa yang mendamba hidup bahagia. Dengan kata lain,  puisi-puisi   tersebut ditulis untuk terapi. Yaitu menyembuhkan  berbagai gangguan psikis sebagai cikal bakal penyakit fisik.

“Puisi-puisi yang saya tulis dalam kurun waktu 2015 – 2018 mengandung unsur terapi psikiatrik dan neurobehaviour, penyebab energy amarah diubah menjadi energy produktif melalui katarsis  atau curahan hati yang berguna untuk terapi  bagi penyair maupun pembaca.” Papar Arman mengenai puisi-puisi yang ditulisnya.

Dengan demikian, ia layak disebut sebagai perintis puisi terapi di Indonesia. Rintisannya, diawali dengan menulis dan menerbitkan  buku berjudul Neuro-Poetry yang diluncurkan pada bulan April yang lalu. Neuro-Poetry merupakan kajian berbasis ilmu neurobehaviour, yang meneliti, mengkaji dan menguji efektivitas terapi menggunakan puisi. Selain itu dilengkapi dengan cara menilai dan mengapresiasi puisi  dengan sistem scoring. Tujuannya, membuat penilaian puisi menjadi lebih objektif, terutama untuk preventif, promotif dan rehabilitatif kesehatan jiwa dan syaraf. Dengan sistem scoring, jika dikembangkan akan membuahkan hasil puisi-puisi yang terseleksi dan dihimpun dalam semacam ‘bank puisi’ untuk terapi kasus-kasus saraf dan jiwa. Dalam hal ini akan membuka celah kerjasama antara dokter dan penyair berbasis ilmiah untuk mewujudkan seni tulis (puisi) untuk terapi. Jika kerjasama tersebut bisa terwujud, fungsi puisi makin luas dan akan memasyarakat.

Di dalam pengantarnya, Dr. dr. Arman  yang telah menulis buku ilmiah kedokteran sebanyak 20 judul dan tiga judul novel ini, dengan jujur menjelaskan bahwa puisi-puisi yang ditulisnya merupakan rekaman jejak hidupnya yang penuh gejolak dan  warna: masa lalu, yang sedang dijalani dan juga harapan di masa depan. Sesuai dengan misi dan visinya, di mana energy amarah diubah menjadi energy produktif, maka puisi-puisi  dalam buku ini tidak ada yang ‘meledak-ledak’ walau curahan kemarahan. Juga, tidak ada puisi yang ‘menangis-nangis’ walau itu mengungkapkan kekecewaan. Kuncinya terletak pada pilihan diksi.

Arman yang lahir sebagai putra Jawa dan tumbuh kembang di Bali,  dalam menulis  puisi sangat apik, hati-hati   dan cermat dalam memilih diksi, sehingga tidak bombastis maupun alay.   Ruh-ruh puisinya sarat akan rona  budaya (Jawa  dan Bali), spiritual (Islam Moderat)  dan kecintaannya pada alam (metaforis). Format puisi-puisinya beragam, ada yang  dituangkan dalam  puisi panjang (beberapa bait maupun hanya   satu bait), sedang  dan  puisi alit (hanya satu bait dan ringkas). Meskipun demikian tidak mengurangi maknanya dan mudah dipahami. Karena bahasa yang digunakan dalam puisi ini cukup komunikatif tanpa mereduksi kepuitisannya walau tidak menerapkan estetika birama.

Berikut ini puisi yang saya tafsirkan untuk menterapi jiwa-jiwa gelisah karena selalu ingin dipuja-puji. Barang kali setelah membaca puisi ini, kegelisahan mereka bisa mereda. Karena puisi berikut mengajak pembaca mawas diri.

 

ANGIN

Angin
Jadilah angin
Yang melaut dengan tenteram
Melambaikan layar-layar
Memandikan perahu dengan gelombang tenang
Jadilah angin
Yang menebarkan serbuk sari pada putik
Tanpa memetik apa pun
Meniup wajah-wajah petani dengan tiupan bahagia
Jadilah angin
Yang menerbangkan harum ke sana kemari
Melantunkan nyaring dedaunan
Meneduhkan hati yang berapi-api
Angin tak kasat mata
Tak perlu puja
Tetapi mengundang puji 


(2016)

 

Puisi berikutnya sangat pendek dan kontemplatif. Isinya  tentang gambaran masa tua. Karena masa tua itu tidak bisa ditolak,  maka perlu dikondisikan untuk memilih ‘kondisi’ yang terbaik. Yang mana pilihan Anda? Mari kita renungkan.

 

ADA MASANYA

Ada Masanya
Ada masanya
Pohon tua menua
Menua dengan bahagia
Tetapi
Ada pula menua sengsara
Menua bersama cendawan dan hama
Menua dengan ringkih nista 


(2016
)

 

Dalam berteman tidak selamanya bisa seiring dan sejalan dalam pemikiran maupun  dalam memilih sesuatu, misalnya. Dalam puisinya berjudul  Seinci Bukan Sesenti, Dr. dr. Arman yang hobinya makan berlauk  peda goreng  dan  sambal dadak, menceritakan tentang ‘pertengkarannya’ dengan seorang temannya. Yang dipertengarkan soal memberi nama terhadap seorang anak. Karena puisi ini bersifat terapis, maka pertengkaran yang disajikan  bersih dari caci-maki.  Yang ada adalah semacam nasihat, berikut ini:

 

SEINCI BUKAN SESENTI

Sudah kuperingatkan padamu:
Dul, hati-hati memberi nama anakmu
Weladalah nama wali
Lalu nama nabi
Sudah bosan kubertutur:
Dul, kasih nama sesuai dirimu
Kamu gantungkan nama ke langit
Lebih tinggi ke Pluto
Lalu ke Bima Sakti
Dul, kakimu di bumi
Sudah capek kuberitahu kamu:
Nama itu memang doa
Tapi ingat kau ini minta apa
Itu anakmu jadi seperti ikan remora
Pemungut sisa bangkai makanan hiu
Dul, katamu biarlah
Toh tak jauh-jauh dari sempurna
Tapi kuberitahu kamu Dul
Seinci itu bukan sesenti
Kamu paham Dul
Mungkin malah saat ini semili dari semeter
Kau berjudi dengan nama anakmu Dul

 

(2015)

 

Setiap orang tentu mempunyai kenangan di masa kecil. Apakah itu kenangan  manis maupun kenangan duka. Untuk kebahagiaan jiwa, kenanglah kisah yang baik-baik dan manis. Kenangan  manis akan sangat menghibur pada saat cuaca hati kita mendung, bahkan hujan air mata karena hati terluka. Untuk mengobatinya, tulislah  puisi dengan kata-kata sederhana, cukup dua atau tiga bait saja. Dalam buku ini,   Dr. dr. Arman menceritakan masa kecilnya yang penuh petualangan, dengan bahasa sangat sederhana,  tapi sangat menyentuh. Ada pun yang membuat puisi ini terasa istimewa karena ditutup dengan mantra. Di sinilah mencirikan bahwa ia pernah tinggal di Bali.

 

 

MASA KECILKU

Masa Kecilku
Masa kecilku
Kupanjat pohon kersen
Kutarik kepala belut
Di sawah-sawah milik Dewi Sri
Rumah-rumah wangi
Di pojok ada daun dan nasi
Di depan dupa wangi
Orang menari setiap hari
Janur kuning ditata rapi
Pandan hijau wangi
Masa kecilku
Penuh musik
Sesaji tinggi-tinggi

Bunga buah campur sari
Pattram
Puspam
Phalam
Toyam
Om Awighnam Astu Namo Sidhham

(2017)

 

Puisi-puisi yang saya tulis dalam pengantar ini hanyalah sebagian kecil dari 206 judul puisi yang  dimuat dalam buku ini. Semuanya menarik untuk dibaca, dikaji dan diresapi. Karena masing-masing puisi menyajikan kisah yang menarik dan dihidupi ruh puisi yang sarat makna. Sehingga pembaca bisa leluasa memilihnya: mana yang cocok untuk menerapi jiwa agar bahagia? Mau puisi cinta (Bercinta), puisi lingkungan (Hujan di Hutan Pinus), puisi mistis (Tarian Laut Selatan), puisi sufistis (Kepada Sayid Al Hussaini), puisi romantic (Piano Concerto No. 20 Romance), puisi tentang lelaki (Kesatria Jawa atau yang berjudul Angrok), puisi anti galau (Tasbih) dan sebagainya. Silakan memilih  di Daftar Isi. Puisi-puisi yang dimuat dalam buku ini juga bisa dijadikan sebagai ‘model penulisan kreatif’  atau acuan  praktis-taktis   menulis puisi untuk terapi

Sebagai penutup, saya sajikan puisi  simbolis-sufistis yang merupakan harapan masa depan penyairnya.

 

KUINGIN MENJADI LOTUS

Kuingin Menjadi Lotus
Aku ingin menjadi lotus
Di kolam jernih Nakayama
Kakiku berdaki lumpur
Tetapi jauh di bawah mahkotaku
Punggungku kuat
Jemariku hening menghadapi angin
Napasku sehelai-sehelai
Kakiku terjuntai santai
Badanku tegak
Tapi tak berlagak
Daguku datar
Seperti para avatar
Hidungku hanya mengenal hio
Beraroma kulit buah langsap

Telingaku hanya mendengar Paritta
Dan Genta Biara berlangkah satu-satu
Kulitku pasrah kepada matahari
Takkan kering daunku karena sahabat bulir air
Mahkotaku kubuat terang
Takkan ada mata yang benci kepadaku
Karena,
Mantraku hanya satu:
Semoga semua mahluk berbahagia
Kubahagiakan angin
Angin lupa amarahnya
Kubahagiakan air
Air lupa dendamnya
Kubahagiakan koi
Koi lupa jahilnya

Kubahagiakan tanah
Tanah tak pelit pemberiannya
Kubahagiakan langit
Langit lupa gemuruhnya
Kubahagiakan elang
Elang lupa cakarnya
Kubahagiakan harimau
Harimau lupa taringnya
Kubahagiakan pengagumku
Pengagumku lupa memetikku
Kubahagiakan lawanku
Lawan lupa jurusnya
Sabbe satta bhavantu sukitatta
Namo budaya 


(2017)

 

Selamat membaca Memorabilia Amara – Kenangan Indah Sepanjang Masa

 

Gubug Hijau Rayakutura – Sentul City Bogor, 23 Agustus 2018

 

 

Dra. Naning Pranoto, MA

Diterbitkan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Close

Error: Contact form not found.