Memahami Dunia Pengarang

Ditulis Oleh: Naning Pranoto


Di pusaran malam  akhir Desember  2014 saya  terbangun. Seperti malam-malam biasanya kala saya bangun tidur melakukan:  menata nafas , membeningkan daya pikir  dan memposisikan tubuh senyaman mungkin agar bisa bangun optimal. Maksud saya,  ‘bangun  optimal’  adalah yang bangun  tidak hanya tubuh saja  tapi juga   pikiran  dan  jiwa  saya untuk menggerakkan spirit: willing to power dalam arti positif.  Karena willing to power dalam tulisan ini – yang saya pinjam dari  Friedrich Nietzcshe filsuf Jerman (1844-1900)  bukan untuk mengejar kekuasaan. Melainkan untuk memahami arti hidup yang sesungguhnya melalui kata-kata. Yang empunya kata-kata itu adalah pengarang dan penulis.  Dalam tulisan ini, saya fokus pada pengarang.

Siapakah pengarang itu?  Kapan pengarang mulai menjadi? Menurut  Thomas Aquinas rohaniawan Dominikan  Italia (1225-1274) seorang pengarang digolongkan pada manusia adikodrati  atau manusia yang mempunyai kelebihan (linuwih – bahasa Jawa) berkat anugerahNya.Kenapa disebut linuwih?  Karena seorang pengarang mampu mencipta. Tentu saja bobot   linuwih  yang ada pada diri  masing-masing pengarang itu  berbeda-beda tingkatannya, itu dapat dinilai dari karya-karyanya. Menurut para kritikus, tinggi rendahnya nilai karya seorang pengarang itu tergantung bagaimana cara mereka mengasah kemahiran mencipta  dan memanfaatkan ke-linuwih-an dariNya. Pengarang yang mampu berkarya ‘adiluhung’ disebut sebagai pujangga atau sastrawan.  Leo Tolstoy (1828-1910)  maha pengarang  atau sastrawan Rusia pernah mengatakan, karya yang bernilai adalah karya yang jujur, menyajikan kebenaran walau kebenaran ditakuti banyak orang – khususnya mereka  yang tidak jujur.

Bicara tentang adikodrati berkat  anugerahNya –  Remy Sylado (1945 – ) salah seorang  sastrawan  Indonesia terkemuka  dan juga seorang munsyi  yang memiliki banyak linuwih menegaskan, “Saya tak mau menyia-nyiakan anugerah yang diberikan Tuhan kepada saya! Maka saya berkarya apa saja yang saya bisa.  Kapan saja. Bekerja dengan suka hati, membuat saya tak lelah  juga tak jenuh.” Tegasnya  penuh semangat, ketika penulis jumpai di sebuah studio rekaman di Jakarta Pusat awal Desember 2014. Ia sedang rekaman audio untuk pementasan karyanya berupa operet pada Februari 2015. Selain menulis skrip operet tersebut,  lelaki berdarah Kawanua  yang menguasai tujuh bahasa asing ini,  juga mengarang lirik dan mengkomposisi lagu serta koreagrafinya. Statusnya, dalam menggarap operet tersebut Remy Sylado berkarya sebagai pengarang, penyair, dramawan  dan musisi.     Langka bayi  yang lahir ke dunia ini memiliki multi-talenta  dan mampu mengembangkan talentanya seperti Remy.  “Saya bisa berkarya berkat kekuasaan dan kemurahan Tuhan.” Ia menyimpulkan kebersihasilannya dengan kalimat-kalimat bernafaskan religi.  Ia memang seorang agamis tapi sangat   pluralis dan humaris dalam menyikapi berbagai perbedaan. Sikapnya ini   membuat kawan bicaranya – siapa pun merasa akrab dan nyaman.

Maya Angelou

Pada hakikatnya, seorang pengarang dalam mencipta seharusnya tak lepas dari keberadaanNya, demikian  pendapat Maya Angelou (1928-2014) – sastrawati Amerika Serikat yang memiliki  banyak linuwih: ilmuwan, penyair, penari, penulis skenario, sutradara film, koreagrafer dan dramawati. Karena apa yang dikreasi  oleh para pengarang  melalui tulisannya adalah ciptaanNya: bumi dan isinya,  manusia dalam kehidupannya – sumber  utama sebagai obyek karya. Pengarang dan penyair Sides Sudyarto DS (1942-2012) juga menjunjung tinggi keberadaanNya dalam menulis,  mengakar pada prinsipnya: Cinta kepada Tuhan merupakan jalan mulia bagi pengarang dan penyair mampu  ‘membaca’ dan mencintai segala ciptaan Tuhan, dari alam tumbuhan, alam hewan hingga umat manusia dan jagat raya. Mencintai seni adalah mencintai keindahan. Dan Tuhan adalah sumber dari segala keindahan.

Jean Paul Sartre

Jean Paul Sartre (1905-1980) filsuf eksistensialis Perancis menggarisbawahi bahwa pengarang itu harus punya  rasa tanggung-jawab pada lingkungannya (pembaca) juga atas nilai-nilai moral dan kualitas dirinya sendiri. Untuk itu, antara lain pengarang harus mengorientasi dirinya dengan peristiwa-peristiwa aktual di bagian mana pun dari bumi ini. Pengarang tak dapat lagi mempertahankan semboyan ‘seni untuk seni’ dalam arti pengarang asyik dengan diri dan dunianya sendiri. Karena idealnya karya pengarang tidak hanya sebagai hiburan belaka tapi juga membantu pembacanya menjadi manusia berbudaya (cultured man) – manusia yang paham akan nilai-nilai luhur, nilai-nilai kebenaran, keindahan dan kebaikan.    Singkat kata, karya pengarang yang ideal adalah selain memberi  hiburan juga pencerahan.

Naguib Mahfouz (1911-2006)  Sastrawan Mesir menambahkan, keindahan yang ada dalam karya pengarang merupakan guru yang mempesonakan – yang memungkinkan kita memandang sekilas ke dalam keajaiban yang ada di setiap hari. Dalam hal ini peranan bahasa yang sangat penting, sebagai medium antara pengarang dan pembacanya dalam berdialektika. Untuk itu  para pengarang harus mampu mengkomunikasikan karyanya melalui  bahasanya – sehingga karyanya menjadi terbuka dan bergerak, bahkan menari riang  kala dinikmati pembacanya. Ini yang dinamakan karya sempurna.

Mary Lee Marksberry

Kapan pengarang mulai lahir dan mengada? Berdasarkan teori creative writing, lahirnya pengarang melalui dua rahim. Kelahiran melalui rahim pertama yaitu mengandalkan bakat.  Rahim kedua, lahirnya  pengarang  melalui bakat atau tidak berbakat ditambah pendidikan formal maupun nonformal melalui disiplin Ilmu Creative Writing (Penulisan Kreatif) yang dipelopori oleh Mary Lee Marksberry (1909 – 1995) mulai tahun 60-an. Seorang pengarang dinyatakan lahir jika ia telah mulai menulis dan menghasilkan karya. Tanpa karya nyata, status sebagai pengarang belum layak disandang. Soal kualitas karya, ada tahapannya dari sebagai pengarang pemula dengan membuahkan karya biasa  hingga menjadi pengarang unggul – itu memerlukan waktu dan pengalaman. Juga usaha masing-masing pengarang dalam mengasah kreativitas dan banyaknya ‘jumlah jam terbang’ dalam menulis. Mengandalkan bakat saja tidak mungkin berkembang dengan baik. Melainkan  harus didukung kerja keras  dan banyak membaca (buku, manusia, kehidupan dan peristiwa)  adalah ‘sekolah sejati’ yang meluluskan  seseorang menjadi  pengarang unggul.

Di Indonesia, ‘lahirnya’ para sastrawan menurut saya  cukup unik dan   keren – sungguh  menakjubkan.  Saya  banyak berguru pada mereka ini.   Antara lain, ‘lahirnya’  Gerson Poyk  berkat rajinnya membaca karya-karya (antara lain) Sutan Takdir Alisjahbana (STA), Armijn Pane, Noer Sutan Iskandar dan buku-buku dongeng dari berbagai daerah di Nusantara ini plus berkhayal sebagai pengarang besar, antara lain  setara STA yang waktu sedang melambung.  Khayalannya menjadi pengarang besar  membuat  semangatnya menulis yang  berkobar-kobar. Sebelum memutuskan menjadi pengarang, Gerson Poyk adalah seorang guru dan juga pernah menjadi wartawan.   Ayahnya yang membimbingnya   gemar membaca.

Tapi  STA (1908-1994)  – salah seorang tokoh Pujangga Baru Indonesia, budayawan, filsuf dan tokoh pendidikan,  menjadi  pengarang bukan karena sejak kecil gemar membaca. Saya mengenalnya secara dekat ketika kuliah di di Fakultas Sastra Universitas Nasional Jakarta yang ia dirikan. Saya pernah mewawancarainya  tahun 1986 – seputar ketertarikannya pada dunia pengarang. “Saya waktu kecil tak suka membaca. Saya lebih senang bermain-main di luar rumah.” – demikian pengakuannya. Ia tertarik dan bisa  menulis  karena pergaulannya  di kalangan kaum intelek yang waktu itu saling ‘berlomba’ menulis untuk menjadi yang terbaik dan terkemuka.  Selain itu ia juga bekerja di Penerbit Balai Pustaka  ‘markas’ pengarang dan penulis. “Saya juga harus nomor satu! Makanya saya lalu menulis dan harus melampaui mereka” ujarnya, sambil tertawa, “Tapi, saya tak mau jadi pohon pisang, sekali berbuah lalu mati.”. Ini yang mendorongnya ia belajar filsafat  dan  kebudayaan Barat dan Timur, untuk memantapkan karya-karyanya baik yang berupa fiksi, nonfiksi dan tulisan ilmiah, agar tetap hidup dan membawa visi-misi. Ini yang membuat para pengamat dan kritikus  melebeli karya-karya  STA kental  bertendens.

Lahirnya  Pramoedya Ananta Toer (1925-2006)   sebagai pengarang Indonesia terkemuka dan terpilih nominator Pemenang Nobel Sastra, adalah dampak dari  kejeniusannya   ‘membaca’ sejarah dan kebudayaan, pengalamannya sebagai  pejuang dan   kenyangnya menelan pil pahit dalam penjara, khususnya selama di Pulau Buru. Iwan Simatupang (1928-1970), sastrawan  yang mempelopori aliran filsafat eksistensialisme dalam nafas karya sastra Indonesia ini juga mantan guru dan pernah menjadi pejuang perang kemerdekaan RI, sepertihalnya Pramoedya Ananta Toer. Sebagai intelektual, Iwan  banyak belajar dari Barat (Universitas  Leiden Belanda dan Universitas Sorbonne  Perancis) di mana ia pernah studi, tapi ia tetap Indonesia: nasionalis dan humanis. Itu dapat kita jumpai dalam karya-karyanya yang berupa novel maupun naskah drama.

NH. Dini (1936 -) sastrawati yang produktif tahun 80-an dan saya kagumi karena keapikannya dalam penggunaan bahasa untuk menuliskan karya-karyanya. Ia menjadi  pengarang berkat ibunya yang  suka mendongeng.  Dini kecil  sangat menikmati apa yang didengar dari ibunya, tapi ia tak mau melisankannya. Ia tulis apa yang ingin diekspresikan dan  diungkapkan. Itu ia lakukan sejak di Sekolah Rakyat (setara dengan SD – Sekolah Dasar sekarang). Ia juga rajin membaca majalah kebudayaan, nembang Jawa – membuatnya berperasaan lembut dan menggiringnya terus menulis. Mula-mula ia menulis sajak dan cerita pendek untuk majalah dinding sekolahnya. Ada juga yang dikirim ke majalah,  koran serta dibacakan di RRI. Demikian NH. Dini  mengawali karirnya sebagai pengarang. Karyanya   makin matang ketika ia  banyak bepergian sebagai pramugari dan kemudian mengikuti tugas suaminya yang diplomat.  NH. Dini sangat cerdas, jeli dan  peka dalam membaca peristiwa dan  lingkungannya, sebagai bahan karya-karyanya.

Pengarang karena berpikir dan menulis menjadikan dirinya sebagai   warga ‘terhormat’   di gelaran Dunia Modern yang ditandai dengan  budaya menulis – demikian antara lain pendapat filsuf Romo Drijarkara.  Sayangnya di Indonesia, perhatian masyarakatnya  terhadap  budaya menulis masih minim. Masyarakat Indonesia sejak lama dikenal sebagai masyarakat yang kuat dalam membangun budaya bertutur kata atau budaya lisan dalam kehidupan sosial. Hal ini begitu membudaya di tengah masyarakat nusantara hingga ketika era kebebasan intelektualisme masuk ke tanah air pasca kemerdekaan, Indonesia seperti kelabakan untuk mendorong masyarakat agar tertarik pada budaya tulis – demikian pendapat  Prof. Ariel Hariyanto – Guru Besar Australian National Universty  Australia.

Di samping itu, berdasarkan pengamatan saya, masyarakat Indonesia juga ‘teracuni’ oleh stigma bahwa menulis itu tidak menghasilkan uang  besar alias  jadi pengarang tak bisa kaya. Maka tak heran  ratusan surat dari para pelajar dan mahasiswa di berbagai penjuru Nusantara dilayangkan pada penulis, isinya mengeluh bahwa orangtuanya tidak menyetujui anaknya menjadi pengarang. Beberapa kepala sekolah yang pernah saya  jumpai  meremehkan creative writing. Mereka mengagungkan ilmu eksakta. Bahkan pemerintah pun tak menghargai  peran pengarang secara layak. Sangat mungkin faktor-faktor ini yang membuat Indonesia ‘miskin’ pengarang dibandingkan dengan jumlah penduduknya.

Tak bisa dipungkuri,  bila bicara mengenai kaya atau miskin pada umumnya orang  menaksir  kesuksesan seseorang dari segi material atau kebendaan. Padahal di dunia pengarang,   kaya atau miskin bukanlah material sebagai tolok ukur. Melainkan, kepuasan batin, yang sulit dipahami orang awam – apalagi bagi orang-orang yang mendewakan uang dan kebendaan. Itulah sebabnya, Pramoedya Ananta Toer pernah mengatakan, untuk menjadi pengarang itu diperlukan keberanian. Kata ‘keberanian’ ini mengandung multimakna,  satu di antara maknanya adalah ‘berani melarat’ harta,  berani pula dicemoohkan karena dianggap melarat. Juga harus  berani menghadapi kenyataan jika karyanya dinilai ‘merah’ oleh penguasa.  Maka Alan Paton (1903-1988) sastrawan terkemuka Afrika Selatan mengatakan, agar seseorang sukses menjadi pengarang, pertama-tama haruslah mengenal dirinya sendiri secara lahir batin dan tanyalah: apakah benar-benar mau menjadi pengarang dengan segala tanggung-jawab dan risikonya? Jika jawabannya “Yes I do!” – mulailah menulis dan membuahkan karya ‘lampu’ yang menerangi kegelapan.

Kekuatan kata-kata  (the power of words) merupakan senjata bagi pengarang dan penulis untuk ‘berperang’ dalam arti  menghasilkan karya – demikian  pernyataan  Manuel Vázquez Montalbán (1939-2003) manusia linuwih dari Spanyol (wartawan, novelis, penyair, humoris, kritikus dan gastronom).  Pernyataan tersebut melegendaris dan dijadikan acuan creative writing. Kekuatan kata-kata diperoleh dari kemahiran pengarang dalam berdiksi sesuai dengan ‘ruh’ materi yang akan ditulis.  Diksi merupakan pilihan  kata yang digunakan sebagai medium menulis. Juga  merupakan gelaran gaya ekspresi si pengarang. Dalam Sastra Inggris Klasik, diksi yang digunakan begitu puitis dan metaforis. Tapi, diksi akan menjadi sia-sia jika seorang pengarang  miskin imajinasi.

Dalam proses mengarang dan  juga untuk menjalani hidup sehari-hari, peranan  imajinasi sangat penting. Julien Offray De La Mettrie (1709-1751) filsuf Perancis menegaskan, “Berkat imajinasi, berkat sentuhannya yang membahagiakan, tengkorak yang kering kerontang akan berbalut daging  yang segar dan hidup; berkat imajinasi, ilmu berkembang, seni memperoleh hiasan, hutan-hutan bersuara, gema mendesah, bebatuan menangis, batu pualam bernafas dan semua benda mati menjadi hidup.” Betapa dahsyatnya imajinasi dan pengarang harus memilikinya. Pengarang tanpa imajinasi berarti tamat riwayatnya, karena tak akan mampu menghasilkan karya.

Pengarang  ideal  adalah yang mampu menyikapi multikultural dengan bijak. Yaitu dalam arti bisa menerima  dan memahami berbedaan ras, pola pikir, kebudayaan dan keyakinan dengan berpikir  dan bersikap positif. Kerawanan suhu politik dampak dari  praktik demokrasi liberal memancing  pengarang atau individu bersikap fanatik –  berpihak pada golongan tertentu. Tentu saja ini jalan yang keliru jika seorang pengarang mengaku menulis untuk  visi pencerahan. Karena pencerahan itu untuk semua orang, bak Maha CahayaNya yang bersinar untuk menyinari segala bentuk kegelapan tanpa memandang perbedaan.  Angelus Silesius (1624-1677) rohaniawan Jerman, mengungkapkan betapa indahnya perbedaan itu yang ia metaforiskan sebagai berikut, “Semakin kita membiarkan setiap suara bernyanyi dengan nadanya sendiri, semakin kaya keanekaragaman nyanyian yang dilagukan dengan serempak.”. Sedangkan Voltaire (1694-1778) melengkapi, “Pertikaian adalah angkara terbesar umat manusia dan toleransi adalah satu-satunya obat penawarnya.”

Teks  fiksional, baik itu cerita pendek, cerita mini, cerita panjang, novelet  (novel pendek) maupun novel   – merupakan buah karya pengarang yang  disajikan bagi pembacanya. Untuk menimbang bobot karya pengarang, pada  pertengahan tahun 1920 di Eropa Timur lahir suatu gerakan yang menafsirkan, mengkaji dan mengevaluasi karya para pengarang. Gerakan ini terus berkembang ke Eropa Barat dan Amerika Serikat  dengan istilah kritik (kritik sastra). Yang dikritik adalah teks (interpretasi teks), bukan sosok pengarangnya.  Teks terdiri dari bahasa – bahasa inilah yang berbicara tentang bobot karya tersebut. Pengarangnya dianggap sudah mati, tak ada kaitannya lagi dengan teks yang ditulisnya  – demikian pendapat Roland Barthes (1915-1980) dari penyederhanaan bukunya yang berjudul The Death of the Author  yang terbit tahun 1978.

Idealnya, ada pengarang, ada media untuk mempublikasi karya  dan ada kritikus. Dari pengamatan saya, sekarang ini di Indonesia miskin kritikus. Kritikus yang saya kenal adalah Maman S. Mahayana yang aktif mengkritisi karya-karya sastra saat ini.  Yang lainnya, belum muncul.  Padahal kritik sangat diperlukan untuk meningkatkan kualitas karya. Walau di sisi lain, ada pengarang yang tidak suka dikritik. Padahal seharusnya tidak demikian. Terbuka saja, untuk bisa menerima kritik. Sebab, jika seorang pengarang benar-benar mampu mencipta, tidak ada sesuatu apa pun yang mampu menahannya. Contoh – Siapa yang bisa mampu membendung  karya-karya Pramoedya Ananta Toer? Juga karya-karya pengarang besar lainnya di berbagai negara yang dianggap menjadi ‘musuh’ penguasa?

Setiap karya pengarang  dilindungi oleh Undang Undang Hakcipta, agar terhindar dari pembajakan. Di Indonesia untuk memperoleh  perlindungan hakcipta, para pengarang  dapat mendaftarkan karyanya ke Yayasan Perkumpulan  Reproduksi Cipta Indonesia (YPRCI) beralamat di Jalan Plaju No.10 Jakarta Pusat. Perlindungan yang diberikan meliputi hakcipta dan  hak ekonomi.  Juga advokasi. Maka, eksistensi karya para pengarang aman. *

 


Ingin berlangganan artikel? Isi kolom berikut ini (gratis).


Loading

Diterbitkan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Close
[contact-form-7 404 "Not Found"]
%d bloggers like this: