MASIH PERLUKAH CINTA DI ZAMAN SEKARANG?

Dr Handrawan Nadesul | Corona

(Setelah jenuh oleh yang serba Covid-19, mari sekarang kita bicara yang enteng-enteng dulu)

Secara keilmuan cinta telah banyak didalami. Dari sex appeal sebagai dayapikat yang dimiliki seseorang pada fisiknya dan unsur itu yang memikat sekelompok lawan jenisnya, sehingga terjadi jatuh cinta. Dikatakan sekelompok oleh karena hanya orang tertentu yang bisa menemukan dayapikat sex appeal lawan jenisnya itu. Maka dikenal terpikat pada pandangan pertama. Begitu bertemu, langsung klik: ada sesuatu entah apa yang memikatnya yang disebut sex appeal. Itu yang alami cinta.

Konon perkawinan awalnya dipercaya perlu berlandaskan cinta. Tapi ternyata cinta tidak berumur panjang sebab bersandar pada sosok, pada good looking. Kondisi fisik menurun nilainya seiring bertambah umur. Cinta pada fisik bukanlah cinta abadi. Maka pacaran hendaknya tidak lebih lama dari 2 tahun, kalau tidak mau berisiko putus, kata sebuah studi, lantaran nilai fisik, yang semakin susut.

Bagi lelaki, cinta lebih pada visual, pada apa yang dilihatnya, sedang bagi wanita cinta lebih pada audio, apa yang didengarnya. Itu alasan kenapa acap kita melihat ada pasangan wanita cantik jelita suaminya tidak good looking, karena mungkin keterpikatannya terhadap apa yang wanita dengar dari calon suaminya dulu begitu menggetarkan hati. Atau ada dayapikat lainnya, yang wanita lain tidak menangkapnya.

Lama-lama dengan berjalannya zaman, ketika pergaulan semakin permisif, mendahulukan seks sehingga mendahului cinta, sukar membedakan mana cinta mana yang seks. Seks dianggap cinta. Kondisi yang beginipun tidak abadi. Kebanyakan terjadi di kalangan seleb, kehidupan perkawinan Hollywood yang lazim terjadi seperti ini, demikian pula pergaulan anak muda yang bebas, cinta jadi bernilai murahan, atau bukan cinta namanya, melainkan nafsu.

Peristiwa psikologis alamiahnya, jatuh cinta saja tak cukup. Perlu lanjut proses intimacy selama pacaran berlangsung saling mencocokkan diri, lalu berlanjut dengan komitmen menikah. Namun yang banyak terjadi, sudah keliru jatuh cintanya saking mendahulukan seks, baru seminggu kenal sudah seks, maka bukan cinta lagi namanya. Sedang cinta betulan saja perkawinan bisa tak abadi apalagi kalau bukan cinta. Intimacy baku mencocokkan tidak berproses karena sudah telanjur seks terus. Perkawinan yang fondasinya keliru begini, indeks kelanggengannya rendah.

Cinta sejati saja bisa dibuktikan gagal kalau tidak ada kecocokan, apalagi bukan cinta sejati. Elizabeth Taylor dengan Richard Burton dulu, mereka terbilang cinta sejati, tapi perkawinannya gagal. Belakangan ahli keilmuan cinta bilang sebab mereka tidak cocok. Tidak ada kecocokan. Begini alasan perkawinan yang gagal kalau ditanya, sudah tidak ada kecocokan, padahal cucunya sudah berderet.

Belakangan generasi baby boomers tahun 70-an di beberapa negara tidak percaya lagi cinta. Buat apa kawin dengan cinta kalau tidak cocok. Yang melanggengkan perkawinan itu kecocokan, compatible. Kamu compatible dengan aku, perduli apakah ada cinta atau tidak.Cinta menjadi tidak diperlukan.

Betul motivasi orang meniklah juga tidak selalu sama. Ada yang sederhana belaka demi seks semata, maka yang cantik memilih yang ganteng, berlandaskan good looking semata. Perkawinan begini kebanyakan gugur dan layu sebelum berkembang. Lihat perkawinan artis dan seleb Hollywood. Ada pula yang bermotif uang, matre, suami dibeli, atau hal lainnya, yang pasti model perkawinan begini tidak bakal langgengnya. Kalaupun dipertahankan pasti tidak happy-nya.

Seperti perkawinan nenek kakek kita dulu dijodohkan, baru ketemu saat di pelaminan, konon cinta berkembang kemudian. Bagaimana kalau ternyata tidak cinta, dan tidak cocok pula, dianggap sudah nasib. Karena alasan agama dan tradisi dan lain-lain perkawinan yang tanpa cinta tanpa kecocokan begini masih terpaksa dilanggeng-langgengkan tanpa memberi kebahagiaan.

Tidak mudah menemukan perkawinan yang dasarnya kokoh, kalau fondasinya hanya good looking, atau hal yang cuma permukaan lainnya, yang sementara. Betul cinta saja pun belum tentu langgeng, apalagi kalau tidak cocok.

Mencari jodoh di Jepang sejak sekitar tahun 80-an ada biro jodoh lewat komputer. Biro jodoh yang dicomblangi oleh mesin komputer sebetulnya lebih realistik, lebih matematis demi mengejar kecocokan. Sifat tabiat dicocokkan lewat mixing di mesin komputer, yang bertabiat A cocoknya dengan yang pilihan pasangan mana saja. Masukkan semua sifat tabiat, akan keluar nama dan wajah calon suami atau calon istri untuk dipilih. Dari yang sudah cocok sifat tabiatnya, tinggal mencocokkan wajah yang paling memikatnya, lalu copy darat, lalu pacaran untuk mematangkan proses intimacy sebelum nembak. Ini yang sebetulnya lebih rasional, lebih matematis. Bahwa itulah jenis cinta sekarang yang dianggap harus lebih matematis. Yang emosional kalau ketemu jodoh sebab tetangga di depan pagar rumah, saking sering ketemu.

Ada fenomena lain, barangkali agak sering kita menemukan pria bule istrinya sangat tidak good looking, maaf, lebih berkelas asisten rumah tangga. Hal lain di Barat bukan sedikit wanita blonde putih bersih bersuamikan negro kelam pekat, tidak good looking pula. Di Kuta konon sekarang wanita Jepang mengejar lelaki kelam legam instruktur peselancar.

Ada yang bilang lelaki bule pilih wanita lokal Indonesia yang kelas asisten rumah tangga, karena pertimbangan seks. Wanita tidak good looking dinilai besar kemungkinan masih gadis ting-ting ketimbang yang cantik. Wanita tidak good looking belum tersentuh lelaki, dibanding yang jelita. Sedangkan wanita cantik putih bersih blonde bersuamikan negro kelam legam dan tidak good looking, ini misteri. Besar kemungkinan misteri seksualitas. Ada wanita yang memang tergiur pada lelaki yang garang, yang beringas, yang kasar supaya tuntas merasa ditaktlukkan dalam seksnya.

Tapi ada satu yang barangkali patut dipertimbangkan menjadi panutan anak-anak sekarang, yakni sikap pemilik FB, Mark Zuckenberg yang sengaja memilih calon istri yang tidak good looking, seakan hendak menyangkal kodrat seks di mata pria: yang berorientasi visual. Bahwa seks lelaki itu sesungguhnya ada di matanya.

Zuckenberg sengaja memutuskan Pricilla Chan yang tidak good looking itu untuk menjadi istrinya, dan dia tahu Pricilla tidak cantik. Dia menyandarkan fondasi perkawinannya pada inner beauty: kesederhanaan dan penampilan apa adanya yang bikin dia merasa nyaman dan tenang. Namun di balik biasa-biasa saja di luarnya calon istrinya itu, ternyata ada yang istimewa di dalamnya: cerdas secara emosi dan intelektualitas, seorang dokter lulusan Harvard yang berarti sangat cerdas dan orang pilihan.

Ketika ditanya kenapa tidak memilih calon istri cantik jelita, enteng Zuckenberg menjawab, wanita cantik seperti kaca, mudah rapuh dan getas. Cenderung manja, angkuh, mungkin sombong, dan banyak menuntut. Hal itu yang menjadikan kebanyakan wanita cantik jelita menjadi wanita yang jelek dan jiwanya kurang bening.

Kita bertanya, apa semua lelaki bisa menyandarkan kehidupan perkawinannya, kehidupan seksual perkawinannya, terhadap sosok istri yang tidak good looking, karena bukankah kodrat seks lelaki umumnya pada matanya. Itulah yang diistilahkan cinta yang matematis itu, cinta yang berpikir. Cinta yang diperkirakan akan abadi karena yang di dalam itu akan selalu begitu tak berubah sepanjang masa.

Kita lalu bertanya, yang abnormal itu Mark Zuckenberg ataukah lelaki yang masih selalu tergiur pada sosok cantik jelita?

Kalau ada lelaki yang bertanya kepada saya bagaimana seharusnya ia, saya akan menjawab: terserah penumpang.

Salam merenung di rumah saja,
Dr HANDRAWAN NADESUL

Diterbitkan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Close

Error: Contact form not found.