Cerpen Pemenang III : Lomba Cipta Cerpen Cinta Bumi – ICLaw Green Pen Award 2019
Oleh Nabila Shasha
Ketika hujan hanya mengambang di awan Bukit Tiga Puluh, di sanalah kehidupan orang-orang Talang mulai terusik. Kebun-kebun menciptakan sunyi di sungai-sungai. Desau angin seolah iba menyapa pohon-pohon medang yang menghitam. Orang-orang yang mengkhianati tanahnya sendiri telah menciptakan kematian bagi Lanai.
Di sini aku bercerita tentang musim yang hijau. Di sebuah kampung tersuruk, Talang Perigi. Tempat orang-orang Talang mengikuti mamak ratusan tahun lalu. Pohon-pohon begitu indah, ada temali yang menjalin satu pohon dengan yang lain. Aroma gaharu tercium di mana-mana. Cuaca hujan menciptakan basah yang selalu lekat dalam kenangan. Bukan hanya karena genangan sungai-sungai kecil tercipta dalam hitungan jam, tetapi juga pada musim yang banyak dinanti orang Talang itu, cendana-cendana bermekaran. Pertanda rezeki pun datang di sungai-sungai.
Atas nama takdir aku mengabdi di sini. Di sebuah kampung (lebih tepatnya hutan) dengan segenap perjuangan yang mesti dimampukan. Apabila pagi datang, aku berangkat, dengan vespa yang selalu setia. Itu pun tak sampai ke lokasi. Jalanan sulit, sungai-sungai kecil di sana-sana. Hampir satu jam aku harus berjalan kaki.
Tak mengapalah, bekerja sebagai guru memang tak sama dengan pekerjaan lain. Semestinya aku pun telah menjadi guru untuk diriku sendiri. Itulah yang kurasakan, bersabar dengan ucapan-ucapan istriku – Marwiyah, setiap waktu. Istriku, perempuan lulusan sarjana ekonomi itu setiap malam berceramah di meja makan. Sembil menyeruput pindang baung ia akan berkata, “Kapan kau berhenti dari pekerjaanmu itu? Bekerja di hutan bersama orang Talang dengan gaji pas-pasan. Kadang logikamu tak masuk akal.”
Mungkin Marwiyah benar. Mengabdi di kampung itu apa gunanya? Sebab selalu saja nasib hidup kami tak ada yang peduli. Tetapi, ada wajah Lanai yang selalu terkenang di pikiranku. Seorang anak kampung Talang yang saban hari datang ke sekolah diantar ibunya. Lanai anak Talang Langkah Lama. Kadang-kadang pun bila pulang sekolah ia kembali memakai pakaian kulit kayu. Emaknya bilang, kayu adalah kehidupan, pohon adalah nafas orang Talang. Sebab itulah, tak ada yang bisa memisahkan mereka dengan hutan. Biarlah Lanai bersekolah, tetapi ke hutan juga kembali bersama orangtuanya.
Kadang-kadang bila siang telah membayang, Lanai minta pelajaran dihentikan. Ia mengajak teman-temannya ke sungai. Di sana Lanai memulai cerita, tentang kehidupan orangtuanya yang menjelajahi hutan. Lanai selalu ikut, dia tak takut ular atau macan dahan. Orangtuanya selalu berjalan, dari satu tempat ke tempat lain di dalam hutan.
“Apa yang kalian kerjakan?” tanyaku penasaran.
“Ayahku mencari manau, ibuku mencari cabai tempala,” ujar Lanai sambil tertawa. Lanai bercerita, ia senang makan ikan. Di hulu dan hilir sungai ia menemukan banyak ikan.
“Ya, di sungai-sungai masih banyak ikan. Aku bahkan tak tahu apa nama ikan itu. Ayahku menjualnya di kota, sepuluh kilometer dari kampung ini.”
“Kenapa sekarang aku tak pernah melihat ayahmu berjualan ikan lagi? Memangnya ikannya masih ada?”
“Ada. Itu hanya cukup untuk makan kami sekeluarga. Bangau-bangau pun masih kelaparan di tepi sungai,” Lanai terdiam sesaat. Ia seperti mengingat sesuatu, ada gurat sedih di matanya.
“Sebenarnya aku sedih, sekarang aku tak bisa lagi mencari ikan seperti dulu. Mungkin kalian suka memakan ikan laut yang dijual orang di pasar, tapi tidak dengan aku dan keluargaku. Bolehkah aku bertanya Pak, di manakah ikan-ikan itu sekarang?” Lanai menatapku tajam. Entah apa yang ingin ia luahkan dalam tatapan tajam itu.
“Masih ada, kita bisa mencarinya, ya bukankah begitu anak-anak? Kita akan mencari ikan, Lanai mengajari kita mencari ikan di sungai,” aku harus tetap menjawab pertanyaan Lanai, meski ada jawaban pedih yang kusimpan dalam kata-kata itu.
Lanai diam. Kupikir anak itu lebih mengenal alamnya dibanding aku. Terlalu sulit bahasa yang harus kujelaskan, tentang rimbunan pohon-pohon sawit yang terbentang di sebelah utara kampung ini. Lanai mungkin tak tahu, tetapi mungkin juga ia mulai tahu.
Demikianlah hari-hari yang selalu terkenang bersama Lanai. Dulu, mula-mula sekali ia datang ke sekolah ini tak ada sepatah kata pun yang ia ucapkan di dalam kelas. Anak itu bahkan takut-takut.
“Kenapa kau takut?” tanyaku.
“Bukankah Bapak orang asing? Orang asing selalu jahat di sini.”
Inilah pekerjaanku yang sulit. Mengajari mereka menerima kami orang asing yang tak sama maksudnya dengan orang-orang asing lain.
“Kenapa kau bilang orang asing jahat?”
“Mereka mengusir kami.”
Bila aura wajahnya mulai tak suka, aku tersenyum saja. Lalu kuhadiahi ia uang beberapa ribu rupiah. Barulah ia menatapku lagi dengan ragu-ragu.
“Kenapa Bapak memberiku uang?”
“Sebenarnya kami sama saja dengan orang asing yang kalian minta uang di depan gerbang Bukit Tiga Puluh itu, tetapi kami datang ke sini untuk mengajarimu pintar membaca.”
Mendengar itupun Lanai gembira. Lalu gadis kecil itu mulai tersenyum takut-takut. Menyimpan uangnya dalam saku kecil baju merah putih yang nyaris coklat warnanya. Tak usah ditanya apakah pakaian itu dicuci ibunya atau tidak, sebab selepas pulang sekolah pun ia lebih suka memakai pakaian kayunya.
*
Kampung ini perlambang setia. Tentang orang-orang yang mau datang dan memberi di sini. Tetapi tak demikian pada sebagian yang lain. Sebab di sini pula orang datang dan mengambil semuanya. Aku tak hendak menjadi perambah-perambah nakal seperti mereka. Yang aku tahu, di sinilah aku memberikan sesuatu untuk Lanai dan anak-anak lain. Hujan memang masih membasahi kampung ini, tetapi tanahnya tak lagi menumbuh aneka warna hijau seperti dulu. Menatap langit kini lebih kelam. Hujan seperti mengambang dalam awan, tak hendak jatuh dan tak pula hilang mendatangkan birunya langit. Di situlah orang-orang kampung merasa muram. Mereka tak tahu harus ke mana bila tak menelusur hutan. Hanya berjalan melintas sungai, itu pun kadang tak menjumpai apa-apa. Tempiri-tempiri mereka kosong, dan hanya daun-daun yang mereka masak dalam kuali.
Lanai pernah bilang, sepertinya pagi di hutan itu tak lagi bersahabat pada keluarganya. Nyanyian burung pun semakin lama semakin sunyi. Lanai mencari-cari, kemana burung-burung itu pergi. Seperti biasa ia akan bertanya lagi saat bertemu di sekolah.
“Pak Guru, ke manakah perginya burung-burung yang dulu hinggap di atap rumahku?”
“Masih ada, burung-burung itu masih ada.”
“Tapi suaranya tak ada lagi, apa ia pindah ke hutan lain? Di manakah hutan itu? Mungkinkah ayah dan ibuku bisa datang ke sana?”
“Nanti kalau kau sudah besar dan bersekolah tinggi, kau akan tahu ke mana perginya burung-burung itu.”
“Jangan-jangan orang asing itu membawa burung-burung kami?”
“Mana mungkin, burung-burung itu sulit ditangkap. Orang-orang itu hanya membawa kamera untuk memotretnya.”
Lanai terus menyimpan rasa penasaran. Segala yang ada di kepalanya sebenarnya membuat aku serba salah. Apa yang harus kukatakan tentang kampung yang mulai hilang hijaunya. Anak-anak itu kelak akan tahu tentang apa yang terjadi di tanah kelahirannya.
*
Seperti hari-hari biasanya, aku datang ke sekolah begitu pagi. Menghirup udara segar di kampung ini begitu istimewa. Tak ada berisik kendaraan, kesunyian pagi di Talang Pergi begitu terasa. Hari ini Lanai berjanji akan bercerita asal nama ayah ibunya. Dia bilang, ayah dan ibunya sudah lebih dari sepuluh kali berganti nama. Terakhir, ayahnya berencana berganti nama menjadi Rustam. Ia juga bilang ayahnya sudah hampir memutuskan untuk ikut Talang Langkah Baru. Ayahnya ingin jadi orang syarak, seperti teman-temannya yang juga telah lebih dulu. Pagi ini aku menanti-nanti ceritanya, pun anak-anak yang lain. Kami menanti Lanai di pagi yang terlihat mendung.
Pagi telah berlalu. Matahari yang kemuning pun mulai memutih. Lanai tak datang. Anak-anak menanti dan bertanya-tanya. Apakah sepeda ibu Lanai telah terparkir di bawah batang pohon halaman sekolah? Tak ada, anak-anak pun masih menunggu.
“Ada yang tahu rumah Lanai?”
“Sangat jauh Pak Guru, kami hanya tahu arahnya. Sungainya panjang dan besar.”
“Mungkin sungai di seberang banjir Pak Guru, Lanai tak akan bisa melintasinya. Hujan tadi malam di sini sangat deras.”
“Oh begitu, mungkin juga.”
Kami memutuskan belajar tanpa Lanai. Tetapi sebenarnya aku tak yakin Lanai tak bisa merenangi banjir yang datang. Sebab selama ini ia bahkan bercerita jika rumahnya sering kebanjiran, tetapi ibunya bilang kau harus tetap sekolah. Maka tetaplah ibunya datang dengan sepeda tua itu. Aku memutuskan untuk menunggu saja. Mungkin besok Lanai akan datang.
Keesokan harinya Lanai pun masih tak datang. Kami kembali memperbincangkan anak itu.
“Apakah banjir masih ada?”
“Sebenarnya sudah agak surut Pak Guru, tapi mungkin saja sekarang berpindah ke tempat tinggal Lanai. Mungkin sekarang rumahnya kebanjiran.”
“Bukankah Lanai bisa berenang?”
“Tapi dia malu ke sekolah jika memakai pakaian kayunya itu Pak Guru, jadi bisa jadi pakaian merah putihnya basah.”
“Baiklah, besok kita tunggu Lanai datang. Semoga banjir telah surut dan Lanai bisa menyebarang sungai.”
Pagi selanjutnya pohon di halaman sekolah tetap sunyi, tak ada sepeda ibu Lanai di sana. Tak ada lagi yang bisa bicara, semua menerka-nerka tentang apa yang terjadi pada Lanai. Apa mungkin ia pindah lagi memutuskan untuk berhenti sekolah.
“Mungkin saja begitu Pak Guru, bisa jadi orangtua Lanai pindah lagi ke kampung lain.”
“Tapi Lanai tak pernah bilang begitu, bahkan ibunya pernah berkata ia serius menyekolahkan anaknya. Ia ingin Lanai seperti anak-anak lain yang bisa sekolah di Pematang Reba.”
“Tetapi kita benar-benar tak tahu kabarnya.”
“Siapa yang tahu jalan ke rumah Lanai?”
Tak ada yang bersuara. Semua menggeleng kebingungan. Selama ini Lanai hanya sampai di sungai saja mengajak kami.
“Pak Guru, di sebelah utara sungai seberang ada hutan, mungkin Lanai tinggal di sana.”
“Kau tahu arahnya?”
“Tak jauh dari sungai itu ada jalan menuju utara. Mungkin rumah Lanai di sana. Tetapi jalannya sulit, hanya orang dewasa yang bisa ke sana.”
“Baiklah, terima kasih.”
Aku tak dapat menahan rasa. Rasa penasaranku memuncak. Ada apa dengan Lanai? Secepat itukah orangtuanya berubah menghentikan anaknya sekolah dan membawanya ke hutan lagi mencari ikan? Ataukah Lanai dan ayahnya menemukan sungai baru yang benar-benar memiliki banyak ikan. Tetapi di mana? Kebun-kebun sawit itu telah tinggi menjulang. Saban hari karyawan kebun membawa tumpukan urea dalam karung. Pupuk itu mereka tabur ke tanah-tanah. Air membawa pupuk itu ke sungai. Mungkinkah ada sungai di kampung hutan sana yang tak tersentuh cemaran urea itu? Aku membatin. Tetapi tetap harus kutanyakan pada Marwiyah istriku lebih dulu.
Malam itu aku bicara serius pada Marwiyah, tentang keinginanku mencari rumah Lanai. Marwiyah menatapku tajam, ia memastikan keinginanku itu tak salah.
“Kau yakin menelusuri hutan itu? Bagaimana jika ada ular piton? Bagaimana jika mereka malah mengirimimu jampi-jampi?”
“Aku tahu Lanai dan ibunya tak begitu.”
“Tapi mereka Talang Langkah Lama, kau tahu itu kan?”
“Tapi aku gurunya.”
“Aku juga istrimu, bagaimana jika kau kenapa-kenapa?”
“Kalau begitu ikutlah denganku.”
“Aku?”
“Iya, bukankah kau ingin tahu tentang perilaku perusahaan yang menawarimu pekerjaan itu? Kau bisa lihat sendiri di sana.”
Marwiyah akhirnya setuju. Entah karena cintanya padaku atau memastikan tawaran pekerjaannya untuknya itu memang salah. Beberapa waktu lalu seorang lelaki bermata sipit datang ke rumah. Ia bilang sedang mencari orang tempatan untuk bekerja di perusahaan kelapa sawit. Lokasinya di area Bukit Tiga Puluh. Sebuah perkebunan baru telah dicipta. Marwiyah ditawari gaji yang mahal, tetapi ia buru-buru sampaikan itu padaku. Aku tak mengiyakannya. Ia pun tahu, itu pertanda aku tak restu. Tetapi kadang-kadang ia menyesalinya. Wajar saja, sebab aku yang hanya bergaji pas-pasan ini tak bisa memberinya uang belanja lebih. Biarlah kita miskin asal tak mengkhianati tanah kita sendiri. Aku mengatakan itu pada Marwiyah. Meskipun ia masih sering murung dengan keputusanku, sesekali ia merasakan ucapanku benar. Inilah saatnya ia melihat sendiri kebenaran yang kukatakan.
“Baiklah, aku ikut,” Marwiyah akhirnya bersuara. Aku pun bahagia. Tak ada ketakutan lagi di hatiku. Bersama Marwiyah aku akan melihat Lanai, anak Talang yang membuat aku bertahan di kampung itu.
*
Ini pagi paling mendebarkan. Berbekal petunjuk dari beberapa orang siswa di sekolah, aku dan Marwiyah menyusuri sungai. Hanya ada rakit kecil yang selalu dipakai orang-orang Talang berlalu lalang. Sebenarnya aku takut, sebab mata-mata mereka begitu asing menatap kami.
Lanai, di manakah Lanai? Sebagian orang yang kutemui masih berbahasa Melayu tua, dan aku sungguh tak mengerti. Hanya senyuman saja yang kami ukirkan.
“Lanai, Lanai…” aku hanya bisa menyebut nama itu pada setiap orang yang kutemui. Di seberang sungai memang ada hutan, masih sangat liar. Bangunan rumah-rumah tinggi bertonggak punak bisa berdiri di kanan kiri.
“Lanai..Lanai..” itu lagi yang kukatakan. Sebagian menggeleng. Marwiyah menutup wajahnya sendiri. Ia tak biasa memandang orang-orang Talang dengan pakaian kayu yang melekat di tubuhnya.
“Tetaplah tersenyum, jangan menunjukkan wajah tak suka,” pesanku pada Marwiyah. Ia pun menurut.
Seseorang yang terlihat sudah tua usianya memandang kami di tepi jalan. Lagi-lagi aku hanya bisa menyebut nama Lanai. Orang tua itu berkerut keningnya. Tangannya menunjuk sebuah rumah panggung seukuran lima belas meter di ujung jalan. Wajahnya tampak ragu, tapi ini sudah jadi penunjuk penting untukku.
Aku dan Marwiyah bergegas. Sebuah rumah yang hanya punya satu pintu, bertingkat tiga. Suasana sunyi, tak ada suara apapun. Benarkah ini rumah Lanai? Aku dan Marwiyah saling pandang.
“Lanai..Lanai, ini Pak Guru datang,” aku tak tahu harus mengucapkan apa. Mungkin ini tak sopan dalam adab orang Melayu, tetapi entahlah pada keluarga Lanai. Aku hanya berharap anak itu muncul dari dalam rumah dan menyambutku dengan senyuman.
“Lanai…permisi, apakah ini rumah Lanai?” Marwiyah ikut bersuara. Dari dalam rumah terdengar suara gemerit papan yang diinjak. Sepertinya penghuninya sedang turun dari lantai atas. Pintu terbuka, seorang perempuan yang setiap hari mengantar Lanai ke luar rumah.
“Guru, jauh sampai kemari?”
Aku buru-buru hormat dan menunduk. Syukurlah ibu Lanai muncul, kini aku menunggu Lanai yang keluar.
“Sudah beberapa hari Lanai tak datang Bu, orang bilang di sini banjir, maka saya dan istri kemari.”
“Jauh-jauh kau datang kemari, maafkan Lanai tak bisa datang ke sekolah.”
“Di manakah Lanai, Bu?”
“Dia di dalam, masuklah!”
Aku dan Marwiyah mengikuti langkah perempuan itu. Sebuah rumah kayu beratap rumbia dengan satu pintu saja di bagian depannya. Rumah ini berukuran kira-kira sepuluh kali lima belas meter. Bertangga kayu dan di bagian dalam terlihat banyak sekali tadir, semacam anyaman dari bambu. Di sebuah wadah kayu kecil, tampak potongan-potongan ubi kayu yang masih mentah. Ibu Lanai membawanya ke belakang lalu mempersilakan kami duduk sejenak.
“Di mana Lanai, Bu?”
“Ada, dia di lantai atas. Semestinya ia di bawah sini, tetapi penyakit itu membuat Lanai harus istirahat di atas.”
“Sakit? Lanai sakit apa, Bu?”
“Saya tidak tahu. Sakitnya semakin parah.”
“Kalau begitu kita harus ke kota Bu, Lanai harus dibawa ke rumah sakit. Boleh saya menjenguknya?”
“Tak perlu Pak Guru, setelah bekumantan, nanti pun Lanai akan sembuh.”
Aku terdiam. Bagaimana aku bisa menjelaskan tentang ini, Lanai semestinya dibawa ke rumah sakit.
“Sebenarnya penyakit itu bisa disembuhkan, ayah Lanai bisa menyembuhkannya.”
“Lalu kenapa Lanai masih sakit?”
“Pasak bumi tak ada lagi di hutan sebelah. Semua sudah habis. Ayah Lanai pengumpul pasak bumi di hutan sebelah, tetapi sudah beberapa bulan ini tanaman itu tak ada lagi.”
“Kalau begitu biarlah kami yang membawa Lanai ke kota, Bu. Lanai harus dibawa segera.”
“Sudah kukatakan, biarlah dia bekumantan saja. Kalian pulanglah, sampaikan apa yang kami alami pada pemilik kebun itu.”
Tajam sekali ucapan Ibu Lanai. Seperti ada bola api menyala di matanya. Marwiyah memegang tanganku. Ia memberi tanda harus segera pergi dari rumah itu.
“Baiklah Bu, kami akan pulang. Kami membawa pindang untuk Lanai. Tolong sampaikan.”
Marwiyah meletakkan bungkusan pindang baung di atas meja. Perempuan itu hanya menatap saja. Matanya masih tajam menatap kami. Tanpa bicara lagi aku dan Marwiyah buru-buru keluar. Berjalan dengan sangat cepat. Lanai, aku telah datang menjengukmu.
*
Semenjak itu aku merasa ada yang sunyi. Perjalanan menuju ke Talang Perigi semakin berkabut. Marwiyah terus saja menggoda untuk meninggalkan kampung itu. Apa lagi yang hendak diperjuangkan di sana, bahkan diam-diam kulihat ia pun mulai tertarik menerima tawaran dari perusahaan itu.
“Bang, izinkan aku berkerja.”
“Kau berubah pikiran?”
“Apa kita mau begini terus?”
“Tapi bagaimana dengan anak itu?”
“Kenapa masih dipikirkan? Bukankah kita nyaris celaka?”
“Kita tidak celaka, mereka dan keluarganya yang celaka.”
“Toke itu bilang, aku bekerja di perusahaan sawit yang sudah ada, jadi apa salahnya?”
“Kau tak dengar kata-kata ibu Lanai? Tanaman obat di sana habis karena dibakar.”
“Tapi apa salahnya mereka ke puskesmas? Itukan tugas pemerintah mengingatkan mereka.”
Marwiyah perempuan, ya jiwa perempuannya muncul. Aku pun tak pantas menyalahkannya. Hampir lima tahun kami menikah, tak pernah ia kuberi uang belanja yang layak. Demikian, aku cukup bisa memakluminya. Tetapi bekerja di perusahaan itu? Mimpi terburuk dalam hidupku. Siang malam, sepanjang jalan pulang dan pergi aku mengutuk jalanan. Perusahaan itu bukan hanya menghancurkan pohon-pohon yang ditanam, kendaraannya pun menghancurkan jalanan bertanah kuning dan berlubang. Permintaan Marwiyah kudiamkan, aku ingin mencari jawabannya esok hari, lusa atau mungkin setahun lagi.
*
Pagi ini langit memutih, tak ada matahari. Awan-awan hanya mengambang. Perjalananku menuju Talang Perigi tak ada yang istimewa, sama seperti hari-hari kemarin. Hari ini aku berharap ada yang beda, mungkin anak-anak akan bercerita tentang sesuatu yang lain. Biasanya seorang anak akan bercerita tentang asal-usul moyang mereka. Perjalanan dari hutan ke hutan yang akhirnya menyinggahkan mereka di kampung itu. Tak ada yang kusanggah, aku hanya diam dan mendengar. Sesekali mereka pun menceritakan keseruan menangkap hewan-hewan di hutan. Berburu burung, rusa, ikan dan binatang apa saja yang mereka temui di rimba.
“Kalian tidur di mana?” tanyaku
“Di pohon, orangtua kami membuat rumah di sana.”
Pelajaran hari itu hanya akan bertahan satu jam di ruangan. Lalu aku pun akan mengantarkan mereka ke tepi hutan. Ini sekolah alam yang disukai anak-anak. Kami melihat apa saja yang bergelayut di pohon-pohon, apa saja yang berenang di perairan dan binatang-binatang yang terbang seolah hindak singgah di langit.
“Pak Guru, sebaiknya kita jangan ke hutan,” seorang anak bersuara.
“Kenapa? Pelajaran kita hari ini di tepi hutan.”
“Tadi pagi aku melihat asap yang tebal di tepi hutan.”
“Asap? Mungkin awan, kau salah lihat.”
“Tidak Pak Guru, asap itu sangat banyak.”
“Benarkah?”
Aku menatap langit. Hanya putih yang ada. Tiba-tiba hidungku mencium bau sangit yang kuat. Ada asap dalam udara yang berhembus.
“Pak Guru, apakah ini mendung?”
“Bukan, itu bukan mendung.”
“Tapi langit gelap dan tak ada matahari, tak seperti biasanya.”
“Ada yang terbakar.”
“Mungkin saja di hutan itu Pak Guru, apa kita ke sana?”
Aku tak bisa menahan rasa penasaran. Kuambil sepeda seorang siswa. Ia pun ikut duduk membonceng di belakang. Aku mengayuh dengan terburu-buru, ada yang kuingat di sana, di seberang hutan sana.
Tubuhku menggigil menyaksikan semuanya. Nyala kobaran api yang menjilat-jilat langit. Di seberang sana sebuah hutan hujan berubah merah. Asap hitam membumbung ke udara, menyisakan suasana gelap di sekitarnya. Bocah di belakangku memeluk pinggangku erat-erat.
“Siapa yang membakar rumah kami?”
Aku tak mampu menjawab. Dadaku berdegup kencang saat sebuah suara memanggil-manggil dari balik sisa-sisa hutan yang telah jadi arang.
“Pak Guru…Pak Guru…”
“Lanai….”
Aku berseru. Anak itu, dia yang kupikirkan selama ini tengah berlari-lari ketakutan menuju kami yang hanya berdiri terpaku memandang api di kejauhan.
“Tolong Pak Guru, rumahku dibakar.” Lanai menangis. Tubuhnya kurus, pertanda baru sembuh dari sakit. Tubuhnya semakin hitam terkena asap. Pakaiannya hanya celana pendek dengan bahan kaos yang kumal dan sebuh singlet putih yang nyaris coklat. Aku memeluk anak itu.
“Tidak apa Lanai, tinggallah di rumah Pak Guru. Pak Guru masih punya rumah untuk mu.” Aku tak dapat menahan iba. Ada air mata yang tumpah dalam amarah.
“Di mana orangtuamu?”
“Mereka pergi lagi, aku tertinggal di dalam rumah sendiri. Mereka mungkin mengira aku sudah mati.”
Cepat-cepat anak itu kunaikkan sepeda. Kami kembali ke sekolah. aku sudah mantap membawa Lanai ke rumah. Lalu aku pulang segera, membawa berbagai kecamuk perasaan di dalam hati. Andai Marwiyah tak setuju, biar saja. Lanai mungkin akan jadi anak pertama kami, takdir Tuhan yang sungguh misteri. Aku pulang dengan bergegas. Kulihat wajah Lanai yang ketakutan, ia merasa asing dengan pemandangan jalanan aspal di kecamatan. Tetapi, tak ada pilihan baginya selain ikut bersamaku.
Sampai di rumah aku membuka pintu, tetapi terkunci. Tak biasanya Marwiyah mengunci pintu. Kuketuk sekali lagi, memanggil-manggil Marwiyah untuk kesekian kali. Tetapi masih sunyi. Sebuah kertas melayang jatuh dari atas dinding rumah, tepat di depan kakiku.
“Bang, kunci kubawa, hari ini aku mulai kerja. Katanya proyek perusahaan mulai jalan.”
Aku menelan ludah. Marwiyah tidak tahu, pekerjaannya itu membuat Lanai akhirnya datang ke rumah ini.
*
Catatan:
Mamak: Sebutan orang Talang Mamak untuk pendahulu mereka yang datang ke daerah Indragiri
Langkah Lama: Sebutan orang Talang yang masih beragama animisme
Langkah Baru: Sebutan orang Talang yang sudah menganut Islam
Orang Syarak: orang Islam
Bekumantan: Perobatan tradisional suku Talang Mamak menggunakan makhluk ghaib.