Kisah Berhikmah | Ir. Henny Burhan, MM: Tersenyum dalam Meniti Lara

Audendo magnus tegitur timur

Dengan menunjukkan keberanian, ketakutan akan tidak tampak

(Lucanus, Penyair Romawi Kuno)

Murah senyum dan ramah, itulah Henny Burhan yang saat ini menjabat sebagai Ketua Pos Binaan Terpadu (POSBINDU) “Sehat Mandiri Produktif” Sentul City Bogor.  Tubuhnya yang mungil ramping bergerak relatif gesit, walau usianya memasuki tiga-perempat abad. Maka ia masih aktif nyopir sendiri ke mana-mana. Maklumlah, karena perempuan bersuara lembut kelahiran Bandung yang pernah aktif sebagai peneliti dan dosen ini tak mau ‘pensiun’. Maka tanpa lelah  ia pun selalu  mobile untuk merampungkan tugas-tugasnya di bidang sosial. Siapa  menyangka bahwa ibu dari seorang putra dan nenek dari empat cucu ini sejak dalam kandungan kesehatannya sudah bermasalah. Akibatnya, sepanjang hidupnya ‘jatuh-bangun’ menderita berbagai penyakit dan membuatnya sering pingsan jika terkena sinar matahari.  Bahkan, ia juga pernah  mengalami amnesia. Meskipun demikian ia tak pernah putus asa dan berani menjalani hidup dengan penuh optimistis.  Sikap itulah yang membuatnya mampu tampil tegar,  kuat dan selalu mensyukuri  rahmat dari  Allah SWT yang dilimpahkan kepadanya.

“Mudah-mudahan sisa hidup saya masih bisa dirasakan manfaatnya oleh mereka yang membutuhkan tenaga dan pikiran saya. Saya senang dan ikhlas mengerjakannya. Tanpa pamrih apa pun, ya….sesuai dengan kemampuan saya.” Henny Burhan membuka kisah hidupnya yang penuh hikmah.

Dalam Kandungan Ibu: 12 Bulan

Pada umumnya, janin manusia bersemayam di garba ibunya adalah sembilan bulan lamanya. Tapi tidak demikian dengan janin yang kemudian tumbuh menjadi sosok Henny.

“Kata ibu saya, saya ini dalam kandungannya selama dua belas bulan dan baru lahir. Lahirnya pada bulan Mei dan itu kata ibu saya sangat sulit. Ibu saya sangat menderita. Selain kandungannya sudah terlalu tua, ibu melahirkan saya di pengungsian – di gunung. Waktu itu  zaman perang, saat Jepang  mau bertekuk lutut pada Sekutu. Tidak ada dokter. Tidak ada bidan.” Papar Henny.

Dengan kondisi yang sulit, Henny pun tumbuh kembang tapi kurang sempurna. “Saya sakit-sakitan. Penyakitnya di perut. Ada gangguan pencernaan. Inilah yang membuat saya lemah, tidak senormal anak-anak yang sehat.” Kenangnya.

Tapi, di balik ‘kelemahannya’ itu otaknya cemerlang. Nilai-nilai di rapotnya gemilang dan membuatnya selalu juara kelas. Bahkan ketika memasuki remaja, tubuhnya yang lemah jadi menguat. “Saya rajin latihan  berenang.” Tegasnya. Ketekunannya latihan berenang tidak sia-sia. Ia bisa jadi atlet berenang dan pernah  ikut PON. Karena sering pingsan, membuatnya tak bisa berprestasi tinggi. “Tapi, saya tidak kecewa. Karena saya tahu kondisi tubuh saya. Sejak itu saya terus belajar ikhlas dalam menerima apa saja yang menimpa diri saya. Karena saya ingin hidup bahagia. Saya tidak mau terkungkung oleh kondisi tubuh saya.”

Langganan Digotong Teman-Teman

Selain mengalami gangguan pencernaan, Henny juga terserang diabetes dan vertigo. Ini yang membuatnya mudah pingsan dan jadi langganan digotong oleh teman-temannya. “Saya memang mudah pingsan.  Kalau ikut upacara sering pingsan. Selain tidak tahan terkena sinar matahari, saya juga mudah haus dan lapar.  Mungkin gula darahnya drop. Tahu-tahu kepala pusing sekali, lalu lessss …. saya tidak ingat apa-apa. Jika parah, saya bisa jatuh sakit hingga berminggu-minggu lamanya. Bahkan pernah berbulan-bulan.  Itu saya alami ketika saya mapram masuk Universitas Padjajaran – UNPAD.” Henny menceritakan kondisinya.

Akibatnya, ia pun wajib mengikuti mapram (masa prabakti mahasiswa) tahun berikutnya. Sayangnya, mapram yang ia jalani tetap tidak mulus karena ia pingsan akibat kelelahan di gojlog seniornya.  Untunglah ia mendapat dispensasi karena prestasi akademnisnya cemerlang. Di samping itu ia juga beruntung karena para sahabatnya mendukung tiada henti.

“Alhamdulillah.  Teman-teman saya baik-baik dan jadi sahabat hingga kami selesai studi dari UNPAD. Bahkan ada yang jadi seperti saudara hingga kami tua dan juga dekat engan orangtua saya. Sayangnya, sudah pada meninggal. Padahal mereka itu sehat-sehat, tidak penyakitan seperti saya. Melihat kondisi demikian saya semakin yakin bahwa kematian itu bukan disebabkan oleh faktor penyakit dan usia semata, tapi atas kehendak-Nya. Untuk itu, saya sungguh bersyukur diberi-Nya usia panjang.” Henny berbicara dengan penuh haru.

Keharuannya makin mendalam ketika ia menceritakan bahwa bulan Juli ini (kala ditulisnya artikel ini) akan ber-reuni dengan teman-teman kuliahnya kala studi di UNPAD. “Ini reuni emas….lima puluh tahun!” tegasnya.

Rencananya, Henny akan membaca puisi untuk para sahabatnya yang telah tiada.

“Kisahnya lucu-lucu. Waktu itu kami di tengah kesibukan studi tentu saja dilanda cinta. Ada teman laki-laki saya yang naksir sahabat saya. Lalu, saya jadi Mak Comblang-nya. Teman laki-laki saya itu suka ngasih saya telur pindang berbesek-besek, karena bisa jadian. Lucu sekali. Ada juga yang naksir saya, tapi malah tidak jadi suami saya. Laki-laki yang jadi suami saya justru dulu ditaksir sahabat saya, ternyata malah menikah dengan saya atas restu ayah saya.” Kenang Henny sambil tertawa-tawa. “Banyak kenangan lucu waktu masih mahasiswa.”

Belajar Jujur dari Suami

Henny menikah dengan Burhan, lelaki dari Gorontalo yang dibesarkan keluarganya di Papua. “Ia seorang mualaf, tapi ngajinya hebat dan ibadahnya sangat taat. Kala sholat berjamaah ia  selalu jadi imam di keluarga besar saya maupun di keluarga kecil kami. Orangnya jujur, tegas dan disiplin tapi ramah.” Henny mengenang suaminya.

Menurutnya, sebelum Henny memutuskan menjalin hubungan serius ke arah perkawinan, hubungan Burhan dengan ayah Henny sangat dekat. “Dulu, rumah ayah saya kan besar banyak kamarnya. Jadi, teman-teman saya boleh menginap di rumah. Nah,ayah saya jadi dekat dengan teman-teman saya, termasuk dengan calon suami saya. Bahkan, ayah saya memberi perhatian khususnya padanya, karena ia pandai dan dinilai baik oleh ayah saya. Maka saya tak bisa menolak ketika diminta ayah saya harus  menikah dengannya.” Henny tak lupa itu.

Ternyata, penilaian ayahnya tidak meleset. Henny mendapat suami yang dinilainya tidak sekadar baik, tapi sangat baik. Selain  bisa menerima Henny yang’sakit-sakitan’ ia juga lelaki yang penuh tanggung-jawab. “Lulus S-1, suami saya lalu studi ke Australia untuk S-2-nya. Kemudian studi ke Jerman untuk ambil S-3. Kemudian ia bekerja di perusahaan swasta hingga pensiun.” Henny menceritakan karir suaminya.

Setelah berhasil menyelesaikan studi S-1, Henny masuk sebagai PNS di Departemen Pertanian sebagai peneliti. Kemudian tugas belajar di sebuah universitas di Australia. Karena sakit-sakitan, ia tidak bisa menyelesaikan studinya di jenjang S-3. Meskipun demikian, Henny tidak pernah menyesalinya.  “Ya, saya ikhlas. Karena saya paham kondisi kesehatan saya!”

 

Dilecehkan Atasan dan Amnesia

Dengan kondisi ‘jatuh-bangun’ karena berbagai penyakit yang dideritanya, Henny  tidak pernah menyerah. Apalagi ia pernah dilecehkan atasannya, bahwa Henny yang sakit-sakitan  – kata atasannya, hanya layak membersihkan kandang ternak.  Pelecehan itu membuatnya ‘bangkit’ dengan cara memposisikan diri sebagai peneliti tangguh. Ia bergabung dengan Tim Peneliti Asing yang meneliti berbagai tanaman yang ada di Sumatera dan Sulawesi. Ia di lapangan yang bermedan keras-terjal, berusaha kuat, berani dan bermental baja untuk meraih hasil seoptimal mungkin.

“Alhamdulillah, saya berhasil ikut mendata berbagai tanaman hasil penelitian kami. Waktu itu kami tulis di jurnal dan juga dibukukan. Saya puas. Tapi di sessi lain saya mengalami keguguran dan juga jatuh sakit.” Demikian perjalanannya.

Meskipun demikian Henny tetap berusaha keras jadi peneliti, bahkan juga mengajar sebagai dosen. Berbagai penyakit yang menganggu aktivitasnya, ia kesampingkan. “Saya bekerja sambil menguntai doa agar tetap diberi-Nya kekuatan. Suami juga mendukung. Saya bahagia sekali. Anak saya juga mulai tumbuh dewasa.” Kenang Henny.

Tapi, kebahagiaan itu kemudian menguncup kala ia sakit yang dirasakannya sangat aneh.  “Saya lupa nama saya. Saya juga lupa pada orang-orang yang saya kenal dekat.” Ia buka lembaran kisah kala terserang amnesia selama hampir dua tahun.

“Suami saya lalu menyuruh saya pensiun dini. Katanya, malu…terima gaji buta. Suami saya kan orangnya sangat jujur.” Cerita Henny. “Waktu saya tidak mengenal orang yang mengantar gaji saya ke rumah. Sejak pensiun dini orang yang mengantar gaji itu tidak pernah ke rumah lagi. Seteah saya sembuh, saya ingat siapa orang yang mengantarkan gaji saya. Juga, saya ingat nama saya dan semua orang yang saya kenal. Alhamdulillah, berkat ketekunan dan ketulusan suami saya dalam merawat ssaya, akhirnya saya bisa sembuh normal seperti sekarang ini.” Mata Henny berkaca-kaca.

Ia teringat suaminya yang setia merawat dan kini ia telah tiada. Kenyataan akan kepergian suaminya untuk selama-lamanya makin meyakinkan Henny bahwa kematian itu atas kehendak-Nya. Maka, ia ingin mengisi sisa hidupnya menjadi warior (warga senior) yang berguna. “Saya saat ini selain aktif sebagai Ketua POSBINDU “Sehat Mandiri Produktif” Sentul City Bogor, juga  jadi RT. Saya siap melayani siapa saja yang membutuhkan pikiran dan tenaga saya.” Tutur Henny sambil tersenyum bernada  bahagia. “Saya juga ingin menulis buku, tentang perjalanan hidup saya yang penuh liku penyakit.” Ia menutup pembicaraannya dengan mata berbinar menebar aura optimistis.

Henny Burhan memang perempuan pemberani, maka ketakutan terhadap berbagai penyakitnya tidak tampak. Sungguh ia bak sumur inspirasi bagi yang ingin menimba ketabahan.

 

Teks dan Foto: Naning Pranoto

Diterbitkan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Close

Error: Contact form not found.