Ditulis Oleh: Naning Pranoto
Tenang pembawaannya, tajam ingatannya, garis-garis kecantikan pada masa mudanya masih menapak nyata dan kalimat-kalimat yang diucapkannya mengalir kritis. Itulah sosok Hermiati yang gagah dan tabah dalam menghadapi vonis kanker getah bening yang menyerangnya tahun 1992, saat ia berusia 42 tahun. Kini usianya telah memasuki kepala tujuh, kanker yang menyerangnya tak mengusiknya lagi. Bagaimana ia bisa mengatasinya? Berikut ini kisah Hermiati ‘bersahabat’ dengan penyakit yang berbahaya itu.
Tanpa Gejala Sakit yang Berarti
Ternyata kanker getah bening (KGB) yang menyerang Hermiati tidak frontal menyakiti tubuh perempuan kelahiran 31 Oktober 1947. “Ya tubuh saya memang terasa kurang enak waktu itu. Tapi hanya seperti mau terserang flu begitu. Lalu ada benjolan sebesar telur puyuh di leher. Saya pikir saya gondongan.” Tutur Hermi, demikian panggilannya, mengawali ceritanya.
Pada waktu itu ia sebagai guru, maka tetap mengajar walau di lehernya ada benjolan. Bahkan ia merasa senang ketika benjolan yang ada di lehernya itu mengecil. Tapi rasa senangnya itu hanya sementara saja, karena benjolan yang telah mengecil itu menjadi keras. Ia lalu konsulstasi pada adik iparnya, dr. Bagus Susilo yang pada waktu itu sedang mengambil spesialis bedah. Selain itu, ia juga menceritakan benjolan itu pada putra sulungnya, Donny M. Shalahuddin, yang pada waktu itu sedang menempuh kuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Indonesia (UKI) Jakarta, di tingkat III.
“Dokter Susilo – ipar saya itu dan anak saya, Donny, menyuruh saya melakukan biopsi. Saya pun lalu melakukannya di tempat praktik ipar saya itu.” Hermi masih ingat dengan jelas. Dengan tenang ia melakukan biopsi 2 x 2 x 4 Cm di lehernya. “Karena saya tidak tahu bahwa saya terserang kanker ganas ya jadi tenang saja. Itu menjelang lebaran.” Sambungnya.
Kemudian hasil biopsi dibawa oleh Donny ke tempat Dokter Spesialis Bedah Togar Simanjuntak di Rumah Cikini Jakarta. “Ipar saya dan anak saya tidak bilang apa-apa pada saya mengenai analisis biopsi. Yang saya rasakan, mereka memperlakukan saya lebih baik dari biasanya. Saya pada waktu itu tidak curiga. Karena keluarga saya maupun keluarga besar saya memang baik-baik, kompak semua. Saling menyayangi. Saling memperhatikan. Jadi ya saya tenang saja.”
Tidak Boleh Pulang, Langsung Operasi
Setelah lebaran Hermi diantar ipar dan putranya periksa ke Rumah Sakit Cikini, ditangani oleh dr. Togar Simanjuntak. Di rumah sakit ini ia bertemu banyak orang yang menderita kanker yang berbeda-beda. Setelah diperiksa, Hermi tidak boleh pulang. “Saya harus opname dengan alasan agar pemeriksaan bisa tuntas gunakan CT-Scan. Saya menurut. Tapi, saya curiga ketika diharuskan menginap di rumah sakit berhari-hari karena teman-teman sekamar saya boleh pulang padahal melakukan operasi. Tapi saya diam. Tahu-tahu saya harus menjalani operasi di wilayah dekat diafragma.” Kenangnya. Diafragma adalah organ tubuh yang memisahkan rongga perut dengan rongga dada.
Pada waktu itu peralatan di Rumah Sakit Cikini belum lengkap, maka operasi seharusnya dilakukan di RSPAD Gatot Subroto. Berhubung alatnya rusak, saya dioperasi di Rumah Sakit Cipto Mangunkusomo yang dulu bernama CBZ.
“Jujur ya… pada waktu itu saya langsung stress. Ipar dan putra saya menenangkan, bahwa jika saya tidak tidak dioperasi akan terserang kanker ganas. Yaitu kanker getah bening. Saya menurut. Setelah operasi saya tidak bisa mengajar karena kehilangan suara dan tubuh tidak enak. Yang paling sedih lagi, saya jadi tidak bisa ngaji.” Hermi bercerita permulaan masa sulitnya sebagai penderita kanker getah bening.
Putra Lee Kuan Yew Membuka Tabir
Kanker getah bening adalah jenis kanker ganas yang menyerang sistem limfatik, . Sistem limfatik merupakan satu bagian penting dari sistem pertahanan tubuh yang memiliki tugas penting dalam membentuk barisan pertahanan guna melawan keberadaan infeksi maupun kanker (Sumber: www.hellosehat.com). Hermiati mengetahui penyakit tersebut dari sebuah surat kabar yang dibacanya pada suatu pagi.
“Pada waktu itu ya di surat kabar itu memberitakan tentang penyakit kanker getah bening yang diderita Lee Hsien Loong, putra sulu Lee Kuan Yew Perdana Menteri Singapura. Saya simpulkan bahwa penyakit tersebut persis dengan apa yang saya derita. Saya lalu bertanya pada ipar dan putra saya, mengapa saya tidak kasih tahu bahwa saya terkena kanker getah bening yang ganas itu? Ipar saya kemudian meminjamkan tesis yang ditulisnya tentang penyakit tersebut untuk ambil spesialis bedah, agar saya baca. Dari sinilah saya paham penyakit yang saya derita.” Papar Hermi, ibu dari empat anak ini.
Tentu saja ia amat sedih. “Memohon pada Allah agar saya jangan diambil dulu. Karena anak saya yang bungsu baru berumur enam tahun. Saya ingin melihat anak-anak saya jadi orang. Saya juga tak mau anak-anak saya diasuh ibu tiri.”
Usai menjalani operasi, Hermi disinar: 45 x di leher dan 25 x di dada, setiap hari kecuali hari Sabtu dan Minggu. Penyinaran ini membuat berat badannya turun 20 kilogram. Ia kehilangan rasa, yang membuatnya tidak napsu makan. Mulut dan tenggorokan terasa kering-kerontang, membuatnya minum dan terus minum. Akibatnya ia tidak bisa tidur karena terganggu oleh hasranya buang air kecil yang puluhan kali dan tidak terkendali. Tapi Hermi berusaha tidak menangis, walau sangat menderita. Ia mencoba dan terus mencoba ‘bersahabat’ dengan penyakit melalui kekuatan doa dan dizikir yang tiada henti. “Sebab saya sadar bahwa penyakit ini memang harus saya terima. Saya ikhlas. Alhamduillah, keluarga sangat mendukung dan memotivasi saya untuk sembuhh. Saya jadi semangat, apalagi jika melihat anak-anak.” Hermi begitu teguh.
Rambut Melayang-Layang di Bromo dan Benjolan di Payudara
Seusai sinar, Hermi melakukan control kesehatan ke dr. Togar Simanjuntak setiap bulan. Alhamdulillah, kondisi kesehatannya mulai membaik, jadual control menjadi tiga bulan sekali. Meskipun demikian, Hermi terus rajin berdoa dan meminta kepada Allah jika diambil dalam kondisi khusnul khotimah. Ia berangsur-angsur tenang. Tapi, apa yang terjadi? Tiba-tiba dr. Togar menyuruhnya kemoterapi, sebanyak 6 x. Hermi down. Lagi-lagi keluarganya menenangkannya. Semua berkumpul mendoakan Hermi agar lancar kemonya.
“Pertama kali saya dikemo, rambut saya langsung rontok di bantal. Anak perempuan saya menangis.” Kenang Hermi. Suaminya, Suparyo, yang mendampingi wawancara membenarkan hal yang menyedihkan itu. “Saya tidak bisa berbuat apa-apa selain berdoa.” Sambung lelaki yang menikahi Hermi berhasil melampaui perayaan kawin emas itu.
Kemo kedua, membuat Hermiati tidak bisa jalan. Selanjutnya, Hermi melakukan kemo di rumah, ditangani ipar dan putranya. Rambutnya terus rontok dan akhirnya gundul.
“Rambut Mama juga pernah rontok di Bromo. Waktu itu Mama minta piknik ke Bromo dan rame-rame kami antar. Mama memang perempuan sangat kuat dan teguh untuk bisa sembuh. Ia selalu berusaha untuk tidak sedih.” Tegas dr. Donny, putra sulung Hermiati. Putranya inilah yang menemukan bahwa ibunya terserang kanker getah bening, kala masih kuliah dan selanjutnya menjaga kesehatan ibunya dengan perhatian istimewa.
Apa yang dikatakan dr. Donny memang benar. Perjalanan hidupnya menjadi saksi. Pada saat sedang menjalani penyinaran, dokter yang merawatnya menemukan benjolan di payudaranya. Hermiati sempat panic. Ia lalu sholawat tiada henti. Dr. Togar memberi pencerahan bahwa benjolan di payudaranya bukanlah kanker, melainkan hanya cairan yang bisa disedot.
“Saya bahagia sekali. Bebas dari rasa ketakutan. Karena menurut pengamatan saya, orang yang ketakutan mati justru memperparah penyakitnya.” Hermi menutup paparannya.
Alhamdulillah. Kini Hermiati dalam kondisi sehat dan sering berbagi pengalaman untuk memberi kekuatan pada para penderita kanker untuk bisa sembuh.
Terima kasih Ibu Hermiati!*
Penulis/Foto: Naning Pranoto