DEWI ROSE : ANTARA KEHILANGAN DAN MENEMUKAN

Vestigia nulla retrorsum
Jejak kaki itu tidak ada yang mundur
(Horat, Penyair dan Penulis Satir – Romawi Kuno)

Quote tersebut di atas sejalan dengan prinsip hidup Dewi yang nama lengkapnya, Dewi Rosiana, berdarah Cina Peranakan. Pendidikan formalnya, S-1 di Bidang Akutansi, lulusan dari sebuah universitas swasta di Surbaya. Ia lahir dan tumbuh di kawasan Pecinan Krian, Sidoarjo Jawa Timur. Lingkungannya sebagai keluarga pedagang membentuk dirinya menjadi perempuan yang ulet dan tangguh serta menghargai uang secara apik dan tepat sasaran, Pasang surut usahanya dan kehilangan dua anaknya secara berturut-turut merupakan luka yang pernah melebamkan jiwanya.

Tulisan berikut ini merupakan bagian dari episode kisah perjuangan Dewi untuk bangkit dari keterpurukannya.

Mencontoh Nenek

Bertubuh mungil, gesit dan tak bisa diam dalam arti suka bekerja apa saja yang bisa ditanganinya. Itulah ciri khas Dewi yang berusia 47 tahun ketika artikel ini ditulis. Kebiasaannya itu ia contoh dari lingkungan keluarganya yang pedagang, khususnya neneknya yang single parent harus menghidupi ke delapan anaknya.

“Nah, ibu saya itu anak nenek saya yang nomor dua.” Dewi memulai ceritanya. “Saya merupakan cucu pertama dari nenek saya.” Sambungnya.

Sebagai cucu pertama, hubungan Dewi dengan neneknya sangat dekat dan lekat. Bahkan ia tinggal bersama neneknya. Sehingga ia tahu betul bagaimana lika-liku perjuangan hidup neneknya untuk survive. “Nenek saya jualan aneka kue yang dikukus.” Jelasnya, Antara lain bakpao, bolu kukus, thiwul, telur asin dan sebagainya. Ada yang membantu sebagai tenaga kasar. Tapi kue-kue itu diolah sendiri oleh neneknya tanpa mengeluh walau hanya menikmati jam tidur yang begitu singkat. Badannya juga sehat, karena bekerja dilandasi dengan senang hati agar, demi memenuhi tanggung-jawabnya sebagai ibu yang juga merangkap sebagai ayah bagi anak-anaknya. Peran ganda nenek Dewi memang menakjubkan dan layak dijadikan panutan..

Dewi bercerita, aneka kue buatan neneknya dijual di Pasar Krian dan sebagian diambil seller terdiri beberapa orang, untuk dijajakan keliling kampung. Bisa dibayangkan, betapa sibuknya nenek Dewi setiap harinya. Dengan kerja keras dan keuletannya, serta relasinya yang begitu baik dengan seller, ia mampu mengentaskan ke delapan anaknya, bahkan juga ikut membesarkan cucu-cucunya dengan penuh kasih sayang yang tulus. Maka tak heranlah apabila Dewi merasa betah tinggal bersama neneknya. Baginya, itu merupakan kenangan manis, menjadi bagian penting dalam hidupnya.

Betapa tidak? Maka daya juang hidup neneknya itu berpengaruh besar pada pembentukan karakter Dewi sebagai pribadi yang kemudian ‘tahan banting’ dalam menghadapi lika-liku hidupnya. Di balik itu ia juga mendapat pelajaran kecerdasan emosiosional yang membuatnya punya empati dan sikap mandiri. Yaitu, tidak mudah menyerah, tegas dan tidak suka bertele tele, selalu berusaha memberi dan tidak pernah berharap diberi. Baginya, hidup merupakan tanggung-jawab dan itu harus ‘ditebus’ dengan bekerja keras, jujur dan konsisten.

Menemukan dan Kehilangan

Dewi menyaksikan bagaimana neneknya pekerja keras juga ayah dan ibunya. Berkat kerja keras itu, mereka berhasil membangun bisnis. Beberapa sumber menyebut bahwa Dewi lahir dan tumbuh hingga dewasa dalam strata kelas ekonomi menengah ke atas di kotanya. Tapi ia tidak bergaya hidup ‘anak orang kaya’. Ia justru rajin membantu kerja keluarganya hingga dijuluki oleh teman-temannya dengan candaan ‘suka duit’.

Pada mulanya ayahnya membuka toko, berdagang kain di Pasar Krian. Usahanya berkembang, kemudian membuka restoran yang dinamai Sri Wijaya. Restorannya itu maju dan terkenal karena masakannya lezat. Cuan pun tentunya menumpah tiada henti dari kasir restoran tersebut. Walau demikian, Dewi tidak terlena ikut bisnis ayahnya. Lulus SMP, ia melanjutkan studi tingkat SMA hingga perguruan tinggi di Surabaya dengan belajar sungguh-sungguh.

Menurut kesaksian seorang sahabatnya dari SMP hingga perguruan tinggi, Dewi selama studi di Surabaya tekun belajar dan rajin ke gereja. Ia tinggal di rumah kost yang biasa-biasa saja walau orangtuanya mampu membayar indekostan papan atas. Ia bukan gadis yang neko-neko. Maka kala tahun 1996 berhasil meraih gelar S-1, ia pun kembali ke Krian membantu ayahnya mengembangkan restoran hingga tahun 2000.

Tahun 1998, Dewi menemukan jodohnya. Ia menikah dengan pujaan hatinya, Rony Heyn seorang insiyur teknik sipil. Pada tanggal 12 November 1999, lahir anak pertama mereka bayi laki-laki, dinamai Evan Christian Chandra. Kehadiran Evan membuat Dewi dan suaminya merasa lengkap dalam membangun keluarga kecil. Semangat hidup mereka pun makin terpacu, ditandai dengan mendirikan usaha sendiri.

“Setelah melalui survey yang lumayan detail, kami berani buka toko di Pasar Krian, jualan plastik.” Cerita Dewi tentang babak baru usaha bersama suaminya, tahun 2000. Dengan demikian ia tidak lagi membantu ayahnya. “Kami belajar mandiri!” tegas Dewi.

Kala itu usahanya cukup maju. Ia bersama suaminya saling bahu membahu kerja keras untuk memajukan usahanya dengan tanpa henti mencari pelanggan tetap. Sehingga stock dagangannya tidak menumpuk. Tapi pada tanggal 4 Maret 2004 ia mendapat pukulan mental yang dirasakannya cukup berat, yaitu anaknya yang ke dua bayi laki-laki meninggal dalam kandungan. Sebelum dimakamkan ia dinamai Jonathan Christian Candra.

Upaya Membasuh Jiwa dan Kehadiran Evelyne

Dewi mengaku, ia sangat terpukul dengan peristiwa meninggalnya Jonathan. Untuk membasuh jiwanya, selain terus menerus berdoa ia lupakan dukanya dengan bekerja dan bekerja bersama suaminya untuk memajukan usahanya. Tahun 2004 ia merintis usaha menjual sembako di rumahnya. Beras yang menjadi primadonanya, dipasok dari petani Pacitan. Usahanya cukup maju melaju, dengan suntikan pinjaman dari bank, karena Dewi tidak mau membebani orangtuanya. Pinjaman modal dari bank ia cicil dengan lancar. . Keberuntungan lain yang dinikmati Dewi adalah, Evan tumbuh dengan sehat. Sebagai rasa syukurnya, Dewi menyisihkan rejekinya untuk berbagi pada yang membutuhkannya. Perasaan bahagaia pun dirasakan datang berganda-ganda.

Usaha dagang sembako yang dijalankan Dewi dan suaminya terus berkembang dan berjalan lancar. Dewi kembali diberi-Nya momongan anak ke tiga, bayi perempuan. Ia lahir 23 April 2009, diberi nama Evelyne Leona Chandra. Sayang sekali, kehadiran Evelyne di dunia membawa beban down syndrome,  adalah kelainan genetik yang menyebabkan ia terserang leukemia (kanker darah).

“Selama sembilan bulan Evelyne menderita leukemia,” kenang Dewi, suaranya disesaki duka. “Dia perlu biaya perawatan yang relatif besar. Bagi saya soal biaya tidak masalah. Yang membuat saya terpukul adalah, dia sudah kami rawat begitu baik tapi meninggal. Tidak tertolong. Nyesek sekali saya waktu itu. Mengapa ya dua anak saya meninggal berturut-turut?” – Dewi sempat terpuruk dalam kedukaan yang amat dalam. Berkat upayanya yang tiada henti melangitkan doa, perlahan ia mampu membasuh luka jiwanya dan bangkit bekerja hingga sekarang ini.

Jualan Nasi Tabok di Pasar Pukul 03.00 Dini Hari: Jadi Dewi Catering

Tahun 2018 Dewi membuka usaha baru yang dimulainya dengan modal kecil dan diharapkan bisa berkembang. “Saya jualan nasi bungkus. Nasi tabok. Harganya lima ribu rupiah per bungkus!” Dewi tertawa, menceritakan usahanya yang dianggap unik, mengingat ayahnya punya restoran besar. Ia justru begitu ‘merangkak’ karena kemandiriannya.

Yang dimaksud dengan ‘nasi tabok’ adalah Sego Tabokan, makanan khas masyarakat Sukodono Sidoarjo. Sego Tabokan terdiri dari nasi hangat, dengan lauk tempe, lento (semacam perkedel), dan sambal khas, yaitu Sambal Tabokan (uleg-an cabai rawit, bawang putih, tempe, lento, dan kecap). Tapi yang dijual oleh Dewi memang tidak selengkap itu. Sasaran pembelinya pedagang makanan dan sayuran yang telah berada di pasar sekitar pukul 03.00 dinihari.

“Puji Tuhan, nasi bungkus saya laku.” Dewi gembira. “Bahkan ada yang saya tambahi lauk daging, harganya lebih mahal. Juga laku.” Sambungnya. Tentunya, kesuksesan Dewi itu terdukung oleh pengalamannya ikut mengelola restoran ayahnya.

Dewi makin semangat. Kemudian usaha itu ia kembangkan dengan membuka lapak kaki lima di depan terminal pusat Krian. Hasilnya? Lumayan laku. Usahanya terus berkembang dan akhirnya menjadi Dewi Catering yang melayani makan untuk pabrik, perusahaan hingga pesta perkawinan. Usahanya itu banyak melibatkan karyawan dan harus diurus dengan seksama.

“Usaha catering itu menguras tenaga dan tidak bisa sendiri. Tergantung pada banyak orang. Inilah yang merepotkan!” sambungnya.

Karena ‘kerepotan’ itu membuat Dewi berpikir untuk beralih usaha yang mandiri dan sifatnya kemitraan. Itu ia temukan di HDI yang diperkenalkan oleh Marla Ge dan Sri Wiyono tanpa sengaja, awal tahun 2020. Waktu itu Marla Ge dan Sri Wiyono sedang coba-coba skype ternyata nyasar ke Dewi. Terjadilah bincang-bincang mengenai HDI, cara kerjanya, berbagai training yang diselenggarakan untuk melatih ketrampilan dalam menjalanankan bisnis MLM.

Kemudian Dewi mencoba secara perlahan, tapi dengan kesungguhan hati. Ia makin bersemangat ketika telah mengikuti berbagai training yang diadakan oleh HDI dan berhasil menjalankan bisnis dengan performance di level Star Crown.

“Saya ingin berguna bagi banyak orang. Melalui bisnis di HDI semoga yang saya inginkan bisa terwujud.” Harapnya mantap, matanya berbinar-binar. Ia yakin, setiap niat baik yang disertai doa akan terwujud. Buktinya, ia telah berhasil mempunyai Panti Asuhan yang menampung anak anak yang terbuang dan terlantar. Dewi merawat anak-anak itu agar mereka bisa mendapatkan kehidupan dan pendidikan yang layak, bisa mengubah hidup menjadi lebih baik.

Dewi bisa dihubungi melalui IG: @de_catering_krian *

Diterbitkan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Close

Error: Contact form not found.