DEWI PARWATI SETYORINI: Makna Tumbuh Kembang Bersama Cucu

Da spatium tenuemque moram, male cuncta ministrat impetus

Berilah ruang kelapangan dan jeda: yang serba tergesa-gesa akan menyebabkan menjadi buruk

(Publius Papinius Statius, Penyair Romawi, 45 – 96 M)

*
Kehidupan itu terdiri dari ruang-ruang yang harus diisi dengan semestinya, untuk pemenuhan hidup. Masing-masing orang punya caranya sendiri untuk mengisinya. Demikian pula dengan Dewi Parwati Setyorini, yang kami tampilkan dalam rubrik ini. Perempuan yang berlatar belakang pendidikan Sastra Inggris dan Management ini, sungguh apik dalam mengelola ruang kehidupannya. Lahir dari rahim seorang ibu berkarir sebagai diplomat, membuat Rini Benn – demikian panggilannya, dididik mandiri dan penuh disiplin. Keduanya itu membentuk dirinya menjadi perempuan tegas, lugas dan tangguh dalam berkarir maupun perannya sebagai seorang single mother yang membesarkan putri tunggalnya menjadi seorang pekerja seni terkemuka di negeri ini. Setelah pensiun, kini ia mencurahkan perhatiannya untuk mendampingi dua cucunya dengan motto brilian: Tumbuh Kembang Bersama Cucu (TKBC).

Rini Benn bersama kedua cucunya
Rini Benn bersama kedua cucunya

Berikut ini wawancara www.warior.id dengan Rini Benn untuk membahas tentang TKBC yang inspiratif dan hal-hal yang terkait dengan ‘ruang-ruang’ kehidupannya yang bernas. Rini Benn juga mengungkapkan keinginannya menulis beberapa buku yang misi-visinya mensosialisasikan TKBC gagasannya, untuk berbagi pada sesama warior (warga senior).

“Mengisi hidup di masa senja dengan berbagai kegiatan yang disesuaikan dengan keadaan saat ini, saya pikir itu dapat mengurangi kepikunan!” Prinsip Rini Benn

Apa yang mendorong Anda melandasi hidup Anda di masa tua dengan spirit ‘tumbuh kembang bersama cucu’?

Keseharian saya dengan kedua cucu saya, khususnya semakin mengkristalisasi di saat belajar jarak jauh selama masa pandemic ini. Saya mengajukan pensiun dini dari pekerjaan saya karena mengetahui bahwa saya akan mendapatkan cucu pertama. Seperti ada perjanjian tidak tertulis antara anak tunggal saya dengan saya bahwa kalau ia sudah punya bayi, saya akan mengajukan pensiun dini. Saya ingin punya banyak waktu untuk bersama cucu saya. Saat itu anak saya masih tinggal dengan mertua karena mereka sedang membangun rumah sendiri.

Pada saat anak saya mengambil S2 Program Magister Universitas Indonesia, ia banyak berdiskusi dengan saya tentang tanggung-jawab membimbing anak. Waktu itu ia sedang mengandung anak kedua. Ia merasa agak bersalah terhadap anak pertamanya yang sering ia tinggal untuk kuliah dan menyelesaikan tugas. Dia menyadari bahwa untuk dia bisa tetap berkarya mengejar cita-citanya, dia perlu bantuan saya mendampingi anak-anaknya. Jadi ia minta saya tinggal dengannya saat rumah mereka selesai.

Sekarang saya sudah serumah dengan anak mantu dan cucu. Sehari-hari saya bersama cucu setelah mereka pulang sekolah, mendampingi mereka menyelesaikan tugas pekerjaan rumahnya. Ayah Bunda mereka keduanya bekerja. Anak saya dapat bekerja tenang karena mengetahui bahwa di rumah anak-anaknya bersama saya yang mensupervisi berbagai kegiatan mereka.

Jadi hidup saya memang berjalan seputar urusan sekolah, urusan akademis dan urusan ‘welfare’ cucu-cucu saya. Tetapi saya juga tidak ingin otak saya mandek hanya karena saya pensiun. Suatu hari saya ingin bisa menulis buku cerita anak-anak untuk mereka. Oleh karena itu saya saat ini sedang mulai belajar menulis fiksi, suatu hal baru yang belum pernah saya kuasai sebelumnya. Menurut saya, cucu bertumbuh kembang di keluarga, di sekolah, di masyarakat, tetapi nenek juga sebaiknya tetap bertumbuh kembang agar bisa mewariskan hal-hal positif bagi cucu-cucu.

Selain itu, sebagai orang yang biasa bekerja, saya tidak betah kalau tidak aktif, atau tidak belajar hal baru. Saya ingin berbagi hobi dan segala kemampuan yang saya miliki untuk bisa saya turunkan ke cucu-cucu.

Spirit TKBC apakah terinspirasi oleh kondisi yang saat ini banyak ibu muda yang berkarir. Sehingga pihak nenek turun tangan ikut membimbing dan membesarkan anak-anak yang ‘ditinggal’ ibunya berkarir?

Ya, itu yang melatar-belakangi. Anak tunggal saya bekerja. Saya pikir saya dapat mendukung anak merentangkan sayap seluas-luasnya jika ia merasa tenang bahwa anak-anaknya di rumah ‘dijaga’ oleh orang terpercaya.

Saya simak dari CV Anda, Anda adalah perempuan berkarir sejak muda (walau kini telah pensiun), bahkan ibu Anda sebagai diplomat juga demikian. Kala Anda berkarir, siapa yang mengasuh anak-anak Anda – menemaninya di masa tumbuh kembang?

Ya, ibu saya sangat menanamkan pentingnya perempuan itu mandiri. Menurutnya, sekali pun perempuan pada akhirnya harus ‘masuk dapur’ dan mengurus anak, perempuan tetap harus mencari ilmu agar bisa berwawasan luas, sehingga dalam membesarkan anak bisa dengan bijak. Setelah ibu saya pensiun, ia menjaga cucu-cucunya saat kami bekerja.

Saya bahkan menitipkan anak saya pada almarhum ibu selama cuti tanpa gaji untuk menempuh S2 di Manila, Filipina. Layak saya sebutkan bahwa saya pun dulu dapat bertumbuh-kembang sekali pun menjadi single mother karena dukungan extended family terutama mendiang ibu saya. Jadi putri saya, Dian dan keponakan-keponakannya berkembang dengan tokoh sentral Eyang Putri karena ibu-ibu mereka yang bekerja.

Pola asuh seperti apa yang Anda terapkan untuk putri tunggal Anda, hingga ia memiliki rasa percaya diri yang tinggi dan muncul sebagai ‘sosok’ yang dikenal masyarakat secara luas – Dian Sastro – aktris dan pekerja seni terkemuka di negeri ini?

Sebetulnya kami tidak pernah membayangkan bahwa anak tunggal kami akan menjadi figur publik. Itu tidak pernah kami rencanakan. Kami menerapkan pola asuh seperti orangtua pada umumnya, tidak ada yang istimewa. Mungkin karena kami datang dari nenek dan kakek guru Taman Siswa, nilai-nilai yang ditanamkan di keluarga adalah bekerja jujur dan selalu mencari ilmu. Kami bukan keluarga yang berlimpah harta, mendiang bapak saya wartawan foto freelance dan ibu saya pegawai negeri sipil. Agar menjadi mandiri, saya dan keempat adik perempuan saya setelah selesai kuliah, bekerja.

Tidak terlintas dalam pikiran di keluarga kami bahwa anak tunggal saya akan berkarir di dunia hiburan dan seni. Ini bermula dari anak saya mengikuti Lomba Gadis Sampul, agar ia dapat uang saku tambahan sebagai model majalah remaja. Kebetulan saya banyak kenal penulis dan pengurus majalah itu, teman-teman di saat kuliah. Jadi saya merasa ‘aman’ dengan ia mengikuti ajang lomba remaja yang mereka kelola. Saya ‘titip tolong jaga’ anak saya berkiprah di sana.

Sering menerima job sebagai model, diam-diam anak saya ikut terlibat dalam pembuatan film indi saat ia di bangku SMA. Saat itu saya sendiri yang menjadi managernya, menseleksi pekerjaan-pekerjaan yang ditawarkan ke padanya. Karena saya tidak ingin anak saya putus sekolah. Jadi terlibat dalam film hanya bisa dilakukan di luar jam sekolah. Kemudian berlanjut, diikuti dengan berbagai tawaran untuk membintangi beberapa video klip dan iklan produk tertentu. Saya hanya menerima tawaran pekerjaan bagi anak saya yang tidak mengganggu sekolahnya.

Kemudian datang tawaran bermain film layar lebar, yang dibintangi oleh pemain film kawakan dan dikelola oleh seorang produser muda perempuan yang sedang naik daun saat itu. Saya merasa beruntung sekali, karena di saat pembuatan film itu di daerah Bromo, Jawa Timur, anak saya mendapat bimbingan solid seni membawakan peran dari tokoh-tokoh film ternama ini. Produser film tersebut memberi banyak petuah dan panduan agar anak saya tetap berkembang di dunia film tanpa terjebak menjadi pekerja seni murahan.

Jadi dapat dikatakan bahwa anak saya tidak pernah bercita-cita menjadi figur publik dan tidak pernah menempuh pendidikan resmi di bidang film. Semuanya dilakukan otodidak, berkat bimbingan tokoh-tokoh piawai di bidang ini, karena sudah terlanjur ‘tercebur’.

Sejauh apa pengaruh suami dalam mendidik anak yang Anda lahirkan?

Suami saya meninggal di usia belum mencapai 40 tahun karena sakit. Ia bekerja tenaga peneliti freelance di badan LIPI dan di sebuah majalah asing. Tetapi sebagian besar waktunya ia habiskan di Wiharanya. Mendiang suami berasal dari keluarga besar yang islam-kejawen, namun ia ‘hijrah’ ke agama Buddha saat bersekolah di Amerika Serikat. Sejak itu ia sangat mendedikasikan waktu dan tenaganya di kegiatan keagamaannya. Sangat berdedikasi sampai tidak menghiraukan kalau ia sakit dan perlu istirahat. Padahal bapaknya dan adiknya adalah dokter!

Saat ia meninggal anak saya masih di duduk di bangku SMP. Sehari-hari memang ia jarang berada di rumah dan lebih sering di markas agama Buddha tempat ia berkarya. Saya memutuskan untuk pisah resmi darinya, namun tetap menjalin hubungan baik dengan keluarga besar suami saya.

Saya pikir pengaruh dari keluarga besar suami adalah kesukaan akan seni, budaya dan filsafat.

Apakah TKBC merupakan semacam ‘penebusan waktu’ karena dulu dengan kesibukan Anda berkarir sehingga tak punya banyak waktu ‘bertumbuh’ bersama anak-anak Anda?

Ah, tidak juga ya. Begitu anak saya mengetahui bahwa ia hamil enam bulan setelah menikah, ia langsung menelpon saya : “Mama sudah siap pensiun dinikah?” Saya tanyakan, kenapa, apakah ia sudah positif hamil? Ia menjawab, sudah.

Jadi seperti sudah ada kesepakatan tidak resmi bahwa saya akan hidup santai berhenti bekerja saat saya mempunyai cucu. Saat itu anak saya masih bekerja di salah satu perusahaan jasa konsultan sumber daya manusia.

Kegiatan apa saja yang Anda lakukan untuk mengisi tumbuh kembang bersama cucu?

Sebagian besar waktu saya habiskan di rumah dengan mendampingi kedua cucu belajar jarak jauh sejak Maret 2020 masa PSBB berlaku. Menjadi narasumber mereka saat mereka menyelesaikan tugas-tugas sekolah. Mereka sekolah di salah satu sekolah internasional, tugas sekolahnya banyak harus mempresentasikan sesuatu di depan guru dan teman-teman sekelasnya.

Di saat liburan atau di waktu senggang, saya mengajarkan cucu perempuan sashiko, menjahit jelujur Jepang sederhana; melukis, karena itu memang salah satu hobby saya, atau memasak kueh resep sederhana. Kadang kami melukis bersama, mencoba berbagai media lukis. Cucu perempuan saya senang melukis dan daya khayalnya tinggi sekali. Untuk cucu laki-laki saya, saya menemani ia les basket di rumah, atau kegiatan olah-raga di rumah dengan coach.

Ada kekhawatiran tersendiri dalam benak saya, melihat banyaknya waktu yang mereka habiskan menonton TV atau memainkan game console Nintendo. Ini racun mematikan, sehingga cucu-cucu saya tidak tahu cara bermain ular naga panjangnya, atau bermain congklak atau bahkan bermain kelereng.

Apakah dalam konsep ‘tumbuh kembang bersama cucu’ mengedepankan pola asuh ‘pemanjaan’ atau ‘pendidikan’ yang mengarah pada life-skills?

Saya berharap kami sama sekali tidak mengikuti pola ‘memanjakan’. Mantu saya sekalipun mampu membelikan segalanya untuk kedua anaknya, tapi ia tidak membelikan mainan kecuali itu merupakan reward atas tugas yang sudah dirampungkannya. Juga tidak pergi liburan kecuali hasil rapotnya baik semua, melebihi rata-rata kelas. Main game dengan gawai Nintendo pun dibatasi hanya maximal 20 menit sekali main. Setelah itu harus diselingi membaca buku atau melakukan kegiatan lain yang membuat mereka bergerak.

Sholat bersama mantu saya setiap maghrib, makan bersama dan saling menunggu semua selesai makan baru boleh meninggalkan meja makan. Ini yang kami tanamkan di rumah. Saya rasa dengan menanamkan nilai-nilai ini di keluarga sejak kecil, cucu-cucu termasuk membekali mereka dengan life skills yang selalu berguna di masa depan.

Harapan apa saja yang bisa Anda petik dengan pencetusan TKBC?

Harapan saya, dengan membiasakan cucu-cucu pada praktek kekeluargaan seperti yang kami lakukan sehari-hari, di masyarakat nanti mereka dapat menjadi pribadi dewasa yang tangguh.

Sebagai orang yang pernah menduduki jabatan tinggi yang ada ada hubungannya dengan pemberdayaan SDM, apa saja yang Anda terapkan dalam mendidik cucu-cucu Anda?

Yang saya coba terapkan dalam membimbing cucu adalah memberikan mereka keahlian untuk menjadi pembelajar yang mandiri. Contohnya, pada mulanya, cucu laki-laki saya harus saya bimbing membuat ringkasan bab atas buku yang ia pilih untuk dibaca. Saya ajarkan kiat membuat ringkasan. Sekarang, di semester ketiga, ia sudah bisa membuat ringkasan sendiri untuk tiap bab yang dibacanya, tanpa panduan dari saya. Berarti ia sudah menemukan ‘caranya sendiri’ untuk meringkas bacaan.

Satu lagi pendekatan yang saya percayai adalah bahwa belajar itu bisa di mana saja, kapan saja, dengan siapa saja. Tidak hanya di kelas atau saat mereka sedang belajar jarak jauh. Saat ramai-ramai membuat kueh, misalnya, mereka belajar menggunakan ukuran dalam menimbang bahan-bahan. Atau belajar cara menggunakan mesin mixer kueh dengan aman dan cermat. Prinsip ‘semua murid, semua guru’ itu saya yakini benar. Kepada cucu laki-laki, saya minta ia terangkan tentang cara memainkan game Mario Broz yang sangat ia gemari. Tanpa ia sadari, saya melatihnya untuk memberi ulasan tentang game itu, mengajarkannya mendeskripsikan sesuatu secara logis.

Apakah spirit TKBC Anda tularkan kepada lingkungan Anda, sahabat kalangan warior (warga senior)? Bagaimana caranya? Mengingat tidak semua nenek ingin mengasuh dan mendampingi cucunya tumbuh kembang?

Semangat yang ingin saya tularkan ke sahabat kalangan warior adalah semangat untuk terus bertumbuh kembang sekalipun di usia senja. Tetaplah belajar, berembang, melakukan hal-hal baru. Misalnya, belajar berdansa, melukis, berkebun, atau menulis. Nikmati dan syukuri hidup yang sudah kita lalui, dan sebanyak mungkin berbagi ilmu, pengalaman, keahlian, dengan orang lain. Mengisi hidup di masa senja dengan berbagai kegiatan yang disesuaikan dengan keadaan saat ini, saya pikir itu dapat mengurangi kepikunan.

Salah satu cara saya mengisi hidup masa senja adalah dengan belajar menulis. Atau belajar hal lain yang saya sukai. Belajar merawat tanaman hias juga merupakan hal baru bagi saya, dan ini sangat menyenangkan. Ada banyak kegiatan yang bisa dilakukan tanpa harus menjaga cucu. Saya pikir mendidik anak itu tetap tanggung-jawab orang tua, bukan tugas nenek. Peran nenek hanya sebagai kepanjangan tangan orangtua. Peran nenek hanya pendukung. Nenek atau kakek, menurut saya, dapat berkontribusi dengan tetap menjalankan peran sebagai pendukung. Menikmati hari tua dan mengisinya dengan melakukan hal-hal yang disenangi. Paling tidak dengan demikian nenek dapat turut menularkan kecerahan dan berkontribusi di keluarga.

Anda saat ini sedang tertarik belajar menulis fiksi. Apakah kemampuan berliterasi itu akan Anda aplikasikan dalam pola asuh bertajuk tumbuh kembang bersama cucu?

O iya. Apa pun keahlian yang saya miliki akan saya turunkan ke anak cucu. Saya tidak dapat mewarisi mereka harta. Yang bisa saya wariskan adalah pengalaman positif bersama mereka dan berbagi keahlian. Melukis dengan cucu, bermain dengan cucu, menjelajahi buku cerita bersama cucu dan juga belajar menulis. Kebetulan cucu perempuan saya senang sekali menulis. Dengan daya imajinasinya yang tinggi, saya ingin arahkan ia untuk membiasakan menulis. Saya mencoba dengan menulis jurnal harian setiap kami liburan. Serta merta ia pun ikut menuangkan pengalamannya dalam tulisan dan gambar.

Tulisan yang Anda pelajari dalam bentuk apa saja (cerpen, novel, puisi)?

Yang sudah saya lakukan saya menulisn jurnal liburan, melalui tulisan bebas dan sering juga melalui gambaran sederhana. Kadang saya terjun memandu kiat menyusun puisi sederhana untuk tugas sekolahnya. Di pelajaran Speech and Communication mereka diperkenalkan bentuk puisi Haiku, Tanka, Cinquain. Saya bimbing mereka menyusun puisi karangan mereka sendiri. Pendekatan yang saya ambil antara lain adalah dengan brainstorming asosiasi kata-kata yang terlintas di pikiran seputar topik yang ditugaskan. Lalu dmenuliskan semua kata-kata itu di kertas buram. Bukankah ini secara tidak langsung melatih mereka mengumpulkan diksi tentang puisi yang menjadi tugas mereka ?

Saya amati beberapa kegiatan Anda di luar rumah memberikan pendidikan nonformal pada anak-anak desa dengan – misalnya, Anda mengajar Bahasa Inggris untuk anak-anak di Sumba Barat. Apa misi dan visi Anda melakukan kegiatan tersebut?

Saat liburan di Sumba Barat dengan keluarga, saya lupa bawa buku bacaan dan bawa jahitan untuk mengisi waktu. Jadi saya berbincanag-bincang dengan staf hotel orang local Sumba, saya ingin lihat desa tradisional di sekitar hotel jika ada. Saya ingin mengetahui bagaimana hidup mereka sehari-hari. Sampailah pembicaraan mereka pada sekolah, klinik, layanan belajar-mengajar yang ada di sekitar hotel. Malah hotel tersebut mempunyai yayasan yang mengumpulkan donasi dari tamu untuk memajukan kesehatan dan taraf hidup orang lokal. Antara lain ada program anak-anak muda profesional sekitarnya keliling desa-desa mengajarkan literasi dan Bahasa Inggris. Saya menawarkan diri untuk mengisi salah satu sesi pengajaran mereka. Misi saya sekadar berbagi dan untuk lebih mengenal budaya setempat, bertemu dengan orang-orang lokal Sumba.

Rini Benn mengajar Bahasa Inggris anak-anak desa di Sumba

Apa hobi Anda? Sejauh apa hobi itu bisa menunjang kehidupan Anda dalam berkarir, spiritual dan sosialisasi?

Hobi saya ada beberapa. Menurut saya, semua hobi saya bisa saya tularkan ke cucu-cucu saya dan menjadi kendaraan untuk bertumbuh kembang bersama mereka.

Saya suka melukis, sketch, fashion drawing, dan melukis pemandangan. Saya suka sekali bermain dengan media lukis cat air.

Saya juga suka menjahit. Ibu saya mengajarkan saya menjahit sejak masih SD. Sekarang saya banyak menjahit alas vas, oper, taplak meja untuk rumah anak saya. Saya baru mempelajari sashiko, jelujur Jepang sederhana namun bisa menjadi sulaman cantik untuk hiasan di atas meja, tas, sarung bantal.

Saya suka masakan barat – sederhana dan mudah. Saya memasak makanan-makanan yang saya sukai. Atau yang disukai cucu saya.

Saya lulusan Fakultas Sastra Inggris, jadi suka membaca karya sastra yang tidak terlalu berat dan menghibur. Selama bekerja, bacaan saya lebih banyak seputar pekerjaan pengembangan SDM, pelatihan dan praktek pengelolaan risiko operasional perbankan. Sekarang sudah pensiun, saya merasa bebas melahap bacaan apa saja yang saya sukai.

Selama masa pandemi ini saya mulai belajar merawat dan mengembangkan tanaman hias dari seorang sahabat pencinta kehijauan. Beruntung sekali di rumah anak saya ada ataman kecil dan ada balkon. Ini memberi saya kesempatan merawat tanaman kesukaan saya. Jauh sebelum naik daun di masa pandemi, tanaman hias favorit saya adalah Monstera Obliqua.

Saya suka musik dan menyanyi. Saya pernah les piano namun tidak tuntas. Saya mengajarkan cucu saya melodi-melodi sederhana dimainkan diiringi di piano. Sebelum masa pandemi, saat ada kumpul-kumpul keluarga, kami sering menyewa band atau pianis, agar dapat mengiringi kami menyanyi bersama. Saya dulu anggota dan pengurus koor gereja. Saya suka dengan musik klasik, khususnya barok, jazz, blues, rock dan pop. Saya menyesal sekali saat kuliah tidak sempat belajar musik tradisional, gamelan, karena saat kuliah dulu saya harus nyambi bekerja.

Mengajar, berbagi ilmu dan pengalaman, memberi saya kepuasan bathin. Setelah pensiun, karena memiliki keahlian ini, saya diutus menjadi pengajar semacam sekolah minggu di gereja saya. Saya menjadi salah satu katekis (pembimbing pengembangan iman Katolik). Saya juga menyumbangkan diri menjadi tenaga menjadi tenaga pengajar lepas untuk topik Bahasa Inggris Akademis.

Saya pernah tergila-gila olah raga dan lari marathon 8 – 10 tahun saat tulang dan persendian saya masih kuat. Sekarang dengan masalah tulang belakang, saya bersyukur bisa jalan pagi setiap pagi dan pilates tiga kali seminggu.

Anda membiasakan diri jalan pagi setiap hari. Hikmah apa yang Anda peroleh dengan kegiatan tersebut?

Banyak sekali. Jalan pagi bagi saya adalah saat hening ‘me-time’ saya. Inilah saatnya saya meditasi, ngobrol dengan Sang Pencipta, dan merenungkan banyak hal. Seringkali apa yang saya jumpai saat jalan pagi juga menjadi inspirasi untuk melukis atau menulis sesuatu.

Apa resep Anda mewujudkan hidup sehat di masa tua?

Sederhana, gerak sebanyak mungkin walau pelan, tetap terbuka untuk belajar hal baru, dan biarkan jiwa raga tetap beraktifitas. Kalau bisa berkreasi sesuatu, lebih baik lagi. Menurut saya ‘nurturing’ atau kemampuan merawat sesuatu yang menjadi salah satu kekuatan perempuan, sebisa mungkin tetap dilaksanakan. Entah itu merawat kebersihan rumah, merawat tanaman, merawat kegembiraan bersama cucu. Asal tetap dilakukan semampu fisik kita yang sudah tidak muda lagi dan dengan ketulusan penuh. Hanya dengan perbuatan nyata dalam hidup ini, menurut saya, manusia dapat mengamalkan iman dan menjadi kepanjangan tangan Sang Pencipta untuk menyalurkan berkat-Nya. Saya pikir dengan belajar menulis, saya bisa merawat ungkapan syukur saya pada Sang Pencipta, atas hidup ini.

Pengalaman apa yang paling berharga yang Anda petik dari masa muda dan bermanfaat di masa tua?

Pengalaman menjalin persahabatan dengan teman sekantor yang sehati dan sependirian tentang prinsip hidup mejadi hal yang paling berharga bagi saya. Bekerja di sebuah korporasi itu bagai merantau di lautan kehidupan dengan macam-macam kepentingan. Kepentingan saya di dunia bekerja adalah menghidupi keluarga dan berbagi. Kesadaran ini hanya saya temui berkat persahabatan dengan segelintir orang yang sampai sekarang tetap menjadi sahabat sejati. Karena berprinsip sama, kiprah mereka pun saat sudah pensiun, tetap sejalan dengan hati dan jiwa saya. Kadang mereka mengajak saya ikut serta dalam kegiatan-kegiatan yang sejalan dengan jiwa ini. Di antaranya, melakukan kegiatan mengajar bersama demi berbagi. Menjelajahi keahlian menulis, suatu belantara baru bagi saya, juga merupakan salah satu inisiatif dari sahabat sesama pelatih di masa aktif dulu.

Apa makna bahagia bagi Anda dan beri contoh-contohnya

Hmmmm, pertanyaan besar sekali ini bagi saya. Jadi menjawabnya juga membutuhkan perenungan besar. Bahagia bagi, saya adalah mensyukuri bahwa orang-orang terdekat yang saya cintai semua dalam keadaan sehat walafiat, tercukupi segala kebutuhan dasarnya, dan saya dapat menjadi kepanjangan tangan Sang Pencipta untuk menyalurkan berkat-Nya. Contoh kecil adalah anak saya perlu seorang ‘shadow teacher’ untuk salah satu cucu saat proses tumbuh-kembangnya agak tertinggal di sekolah. Saat itu cucu saya masih di kelompok bermain balita. Anak saya minta saya menjadi ‘shadow teacher’ bagi cucuku, sebab dengan orang asing, cucu saya butuh waktu untuk merasa nyaman dengannya. Maka dengan senang hati saya tinggalkan semua pekerjaan mengajar saya di universitas almamater saat itu.

Bagi saya kesejahteraan jiwa raga cucu lebih penting daripada kesenangan saya mengajar. Sejak itulah saya menjadi sangat terlibat dengan proses bertumbuh-kembang cucu saya. Dan ternyata bukan cucu saya yang diuntungkan, tetapi malah saya yang merasa mendapat berkat istimewa, yaitu bisa belajar banyak kebijakan hidup dari pengalaman bertumbuh kembang bersama mereka. Buat saya ini lebih berarti ketimbang kelimpahan materi atau duniawi.*


Pewancara: Naning Pranoto
Foto : Koleksi Rini Benn

Diterbitkan

You May Also Like

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *