Angin selatan berhembus kencang menebar bunga es, merontokkan daun-daun gum perindang jalan yang kami lewati. Barang belanjaan yang baru saja kami beli Toko Asia yang bertengger di ujung perumahan yang kami tempati, basah kuyup.
“Are you okey?” tanya ibuku, menoleh padaku yang kedinginan sambil membawa barang belanjaan. Sedangkan ibuku menggotong sekantong beras seberat lima kilogram, membuat kedua tangannya yang kurus tampak melengkung. “Do you mind I practice my English?” ibuku minta persetujuan.
“Never mind, Bu. Bagus.” jawabku mendukung. “Ayo terus ngomong Inggris jangan stop.”
“Thanks. Let me continue bicara Inggris ya?” Ibuku tersenyum sambil membetulkan beras bawaannya.
“Ibu yakin, kuat membawa beras itu sampai ke rumah?” tanyaku dengan khawatir, karena angin selatan berhembus makin kencang. Bunga es berjatuh makin deras.
“Sure.. I am fine!” Lagi-lagi ibuku tersenyum, walau bibirnya membiru dampak terpaaan udara dingin. Anehnya, kedua tangannya terasa hangat ketika kupegang dan itu membuatku senang. Kami berjalan cepat, agar segera bebas dari serangan angin yang membawa musim dingin untuk bermukim sekitar 14 minggu mendatang. Ini merupakan musim dingin pertama yang kami rasakan selama tinggal di Victoria, Bumi Kanguru bagian selatan di mana ayahku bertugas sebagai diplomat. Ibuku sebagai pendampingnya: Ibu Diplomat. Waaahh! Keren!
“Ternyata, winter is not bad ya,” seru ibuku tiba-tiba, lalu tawanya berderai-derai.
Aku terbawa tertawa. Tapi tawaku bukan karena senang merasakan kehadiran winter. Aku tertawa karena senang, melihat ibuku tertawa. Baru kali ini aku melihatnya bisa tertawa lepas disertai mata berbinar. Aku juga senang karena ibu bisa berbahasa Inggris begitu lancar walau aksen Jawa-nya tetap medhok. Sungguh, aku bangga sekali. Betapa tidak? Selama puluhan tahun ibuku dihina oleh keluarga ayahku karena ia illiterate alias buta huruf. Berkat didikan ayahku ibuku bisa membaca, menulis dan berhitung dengan lancar. Ayahku juga mengajarinya berbahasa Indonesia secara benar. Kemudian ibuku dilatih berbahasa Inggris. Ibuku yang memang haus ilmu, berkeinginan maju, ia menjalani otodidak dengan serius. Prestasinya, ia bisa menjadi perempuan pendamping seorang diplomat. Tentu ini merupakan prestasi langka yang tidak bisa dicapai oleh setiap kaum perempuan.
*
“Ibumu itu cuma gelandangan. Anak pasar. Anake buruh srumbungan – ya buruh gendong itu. Bapakmu itu wong edan, mau-maunya ngawini gelandangan.” Demikian di masa kecilku yang sering kudengar dari perkataan kakak ayahku, Bude Sundari. Ia orang yang paling menghina ibuku, karena tinggal serumah dengan kami. Mulut Bude Sundari menutup rapat jika ayahku di rumah. Yang membuatku sedih, ibuku tak pernah mengadukannya kepada ayahku. Ia juga bisa bersikap ramah, melayani Bude Sundari seperti sikap pembantu terhadap majikannya.
Sikap itu membuatku suatu hari protes keras, “Kenapa Ibu baik pada Bude Sundari? Padahal ia selalu menghina Ibu?”
“Dia ndak menghina saya. Apa yang dikatakan memang benar. Ben wae. Lama-lama dia kan bosan dewe,” jawab ibuku tenang dan sabar. “Gusti Allah boten sare. Gusti Allah tidak tidur, akan menolong saya, ngentaske saya dari hinaan.”
Tapi aku yang pada waktu itu berusia sekitar enam tahun, kelas satu Sekolah Dasar, tidak bisa ikhlas – perempuan yang melahirkanku dihina-hina. Suatu malam aku menangis ketika ayah masuk ke kamarku. Ayah terkejut dan bertanya mengapa aku menangis. Aku pun memuntahkan masalah yang mengganjal perasaanku.
“Ibumu itu perempuan kuat dan pinter. Suatu saat semua orang akan hormat padanya. Makanya, Bapakmu ini selalu mengajari ibumu baca-tulis, berbahasa yang baik. Dia akan menjadi perempuan hebat. Lihat saja nanti.” Ayahku menepuk-nepuk bahuku, menenangkanku. “Kau tak perlu khawatir.”
Sepuluh tahun kemudian aku berbicara lagi dengan ayahku, membahas tentang ibuku.
“Mengapa Bapak menikahi Ibu?” tanyaku suatu malam ketika kami berdua makan bakmi godog di depan pasar di kota kami. “Padahal Bapak dari keluarga priyayi, Ibu cuma anak gelandangan dan tidak cantik?”
“Bapakmu ini ingin agar ibumu tidak selamanya jadi gelandangan. Bapakmu ini mengenal ibumu itu sejak di SMP. Ibumu dulu suka jualan es di depan sekolah. Dia rajin jualan.”
“Bapak jatuh cinta?” selaku.
Bapak menggeleng, lalu tertawa, “Tidak hanya sekadar jatuh cinta. Entah apa namanya, membuat Bapakmu ini tidak takut ketika semua keluarga menentang Bapakmu ini menikah dengan ibumu. Wis gitu saja.” Ayahku menepuk-nepuk bahuku, “Kelak kau juga boleh menentukan sendiri siapa perempuan yang mau kau jadikan istrimu.”
“Weladalah…Bapak kok bicara gitu. Aku ini masih ingusan…!” tanggapku.
“Ya sudah. Ayo pulang. Kasihan ibumu nunggu terlalu lama,” ajak ayahku setelah memesan satu bungkus bakmi goreng sayap kesukaan ibuku.
*
Musim dingin telah sampai puncaknya, jarum barometer menunjuk angka nol derajat. Kutemani ibuku yang menjahit kebayanya, duduk di depan tungku pemanas. Ayahku memutar piringan hitam yang melantun suara emas Matt Monro, lagu Born Free:
Born free, as free as the wind blows/As free as the grass grows/Born free to follow your heart
“Oh, my favorit song. Thanks Mas. Let’s we sing this song.” Seru ibuku spontan dengan lincah-riang. Lalu ia menyanyi duet dengan Matt Monro. Ayahku manggut-manggut, memandangi ibuku dengan mata berbinar-binar. Aku pun terbawa suasana. Tak terasa air mataku meleleh. Aku sangat terharu berada dalam situasi bahagia. Memoriku terlempar ke masa lalu ibuku. Duuhhh, siapa menyangka ia dulu seorang gelandangan, anak pasar?
“Terlahir bebas, sebebas angin yang berhembus, sebebas rumputyang bertumbuh, terlahir bebas mengikuti kata hatimu… “ ayahku menterjemahkan lagu Matt Monro bergaya seorang penyair yang membaca puisi, membuat ibuku menari-nari dan berseru, “It is me!”
Kemudian ayahku menarik tangan ibuku diajaknya berdansa. Aku berlari untuk membesarkan volume suara Matt Monro. Ayah dan ibuku berdansa makin mesra. Aku berlari ke dapur membuat kopi untuk kami bertiga. Malam yang dingin terasa hangat. Ketika lagu berakhir, ayah memeluk ibuku erat-erat. Ibuku membalasnya dengan ciuman pipi kiri dan kanan. Aku bertepuk tangan. Sungguh, malam yang indah. Seolah-seolah dunia hanya milik kami bertiga.
“O,sorry. I have to fix my kebaya. Soon!” seru ibuku tiba-tiba, sambil menghampiri kebayanya yang besok akan dikenakan untuk mendampingi ayah membuka Pekan Seni Budaya Indonesia yang diselenggarakan di suatu universitas di wilayah Victoria Barat.
“Kau pakai kain batik apa besok?” tanya ayah pada istrinya, ya ibuku.
“I wear Batik Sekar Jagad, Mas.” tanggap ibuku dengan manis. Ia lalu ia menyuruhku mengambil kain batik itu di kamarnya.
“Waowww…sudah diwiru rapi,” seru ayahku ketika melihat batik yang kubawa.
“I will try it…. Boleh ya kucoba kainnya,” ibuku berdiri, setelah meletakkan kebaya yang baru selesai dijahitnya, di atas meja.
Aku membantunya. Juga ayah. Aku masih ingat, Dulu, ayah mengajari ibuku jarikan – memakai kain secara benar. Sampai sekarang, jika ibu memakai kain, ayah masih membantunya dengan alasan agar rapi. Bahkan ayahku juga membantu ibuku pasang sanggul hingga mematut kondenya. Ayah juga yang memasang kalung dan giwang untuk ibuku. Tapi kalau bedakan ibu sendiri yang melakukan, karena ia sudah lulus kursus make-up.
“Nah, sudah rapi. Coba jalan. Coba muter.” Ayahku memberi aba-aba setelah selesai membantu ibuku mengenaikan kain Batik Sekar Jagad.
“Mana selopku? Tolong ambilkan.” Ibu menyuruhku dengan Bahasa Indonesia.
Aku segera berlari mengambilnya dan kemudian kukenakan di kedua kaki ibuku yang telapaknya bulat jemarinya membuka lebar. Kata ayahku, model kaki bebek. Ibuku tidak pernah tersinggung dikatai demikian. Ia justru bersyukur “Masih untung punya kaki lengkap dengan telapaknya. Coba kalau ndak punya telapak kaki. Ya repot kan?”
“Ayo…berjalan kayak peragawati. Jangan lupa senyum tebar pesona.” ayahku memberi aba-aba pada ibuku sambil tertawa-tawa.
Ibuku segera berjalan seperti peragawati yang sedang di atas catwalk. Anggun dan menawan gayanya, ,membuat aku dan ayahku bertepuk-tepuk tangan. Sayang sekali, hanya sekejap saja kami bergembira. Karena tiba-tiba ibuku terjatuh, karena hak selopnya patah lalu kakinya kesrimpet kain yang dikenakannya. Selain kaki ibuku kesleo, pelipisnya terbentur badan sofa kayu jati yang usia ratusan tahun. Ibuku sempat mengaduh, lalu pingsan sekitar lima menit. Kemudian ia seperti mengigau, bertepatan dengan kedatangan dokter yang memberinya pertolongan.
Setengah jam kemudian ibuku sudah masuk ke Ruang UGD (Unit Gawat Darurat) disertai dua orang perawat perempuan berwajah tenang. Kulihat, seorang lelaki bertubuh tinggi tegap, Dokter Spesialis Ahli Saraf langsung menangani ibuku dengan cekatan. Dari kejauhan ia tersenyum padaku, juga pada ayahku untuk menenangkan kami. Ibuku ditangani dokter selama hampir lima jam antara lain menjalani CT-Scan. Setelah selesai, kemudian dimasukkan ke ruang rawat inap.
“Istri Anda tidak perlu operasi.” Dokter Ahli Saraf itu memberi tahu ayahku dengan suara bening, sungguh menenangkan. “Ia hanya perlu istirahat, mungkin paling lama seminggu.”
Aku lega mendengarnya. Ayahku menggegam tanganku erat-erat sambil berbisik, “Alhamdulillah. Semoga ibumu cepat pulih.”
“Amin.” Ucapku sambil menahan rasa haru.
Keesokan harinya ayahku membuka Festival Seni Budaya Indonesia tanpa disertai ibuku, juga aku. Karena aku menunggui ibuku yang belum pulih kesadarannya. Dokter Ahli Saraf yang merawat ibuku menasihatiku agar aku tidak sedih.
“Semoga nanti malam ibumu sudah pulih kesadarannya dan bisa komunikasi walau belum lancar.” Dokter Ahli Saraf itu memberitahuku.
Menunggu tibanya malam, terasa lama sekali. Sudah 20 jam ibuku dalam penderitaan. Sungguh suatu kejutan. Ketika ayahku datang, tiba-tiba ibuku menggerakkan tangannya, lalu membuka matanya dan memandangi kami dengan sorot mata aneh.
“Ibu….Ibu….alhamdulillah, Ibu sudah sadar.” Aku mencium jemari ibuku.
“Dik Mirah! Oh…Dik.” Seru ayahku, langsung memeluknya.
Ibuku merontak. Ia menamparku. Juga memukul ayahku. Sorot matanya ketakutan. Ia lalu menjerit dan berteriak, “Ojo…ojo rudo pekso aku. Tulung…tulung…tulungi kulo…,” ia meraung-raung dengan menggunakan Bahasa Jawa yang artinya: ia tidak mau diperkosa dan minta ditolong. Aku dan ayahku terkejut mendengar teriakan itu. Dua perawat yang menjaganya kebingungan. Mereka minta ayahku menterjemahkan kalimat ibuku. Mata kedua perawat itu membelalak ketika mendengar penuturan ayahku.
Ibuku terus berteriak-teriak ketakutan, melihat ke arahku dan juga tertuju pada ayahku. Kedua perawat itu menyuruh kami ke luar ruang. Tak lama kemudian Dokter Ahli Saraf itu tiba dan ibuku tidak takut. Dari luar ruangan aku dan ayahku mendengar ibuku berbicara menggunakan Bahasa Jawa. Ia mengadukan kami, bahwa kami akan memperkosanya. Ayahku spontan menangis mendengarkan perkataan ibuku. Tapi, tangis ayahku tiba-tiba terhenti ketika ibuku menyebut nama ayahku.
“I want to meet the man who is called Agung Prakoso. He is a gentlemen. Ia menyelamatkan saya, lalu menikahi saya. Dadi bojoku. Agung Prakoso is my husband. Saiki Mas Agung iku diplomat. He loves me very much. He look after me very well. He is a family man, a great dad of my son, he only my son. Saya perempuan paling beruntung di dunia. Aku iki gelandangan. Tapi saya dinikahi priyayi itu Agung Prakoso. Saya diajari baca-tulis, saya diajari sopan-santun, saya diajari jadi perempuan baik-baik, saya diajari cara mandi yang baik, saya diajari cara makan yang baik di meja makan. Saya juga diajari cara tidur di atas tempat tidur. Karena selama saya jadi anak gelandangan saya cuma tidur di emperan pasar. Kalau hujan saya tidur di gerobak sampah yang saya sewa seratus perak. Mbok Romlah, ibu angkat saya menjaga saya agar tidak diganggu laki-laki. Aduhhh…aduhhh…saya takut. ” Ibuku tiba-tiba menangis.
Aku dan ayahku yang di luar ikut menangis. Perasaanku pilu dan ngilu mendengar kisah yang dituturkan ibuku. Kupeluk erat-erat ayahku, yang telah menyelamatkan dan mencintai ibuku dengan tulus, tanpa syarat. Betapa mulianya hati ayahku. Kami berdua terus berpelukan dan melepas ketika Dokter Ahli Saraf itu menghampiri kami.
“Kita beruntung. Dua perawat itu bekerja sangat baik. Semua perkataan istri Anda terekam. Dia bicara dengan tiga bahasa. Hanya Bahasa Inggris yang saya pahami, tapi cukup menolong saya dan tim saya sebagai keywords. Sangat mungkin memori istri Anda terganggu akibat benturan sofa itu. Fungsi kerja hippocampus pusat konsolidasi memori terganggu. Dampaknya cenderung mengingat kejadian lama dan lupa kejadian baru.” Dokter Ahli Syaraf menjelaskan.
“Apakah itu bisa dipulihkan?” tanya ayahku.
“Akan kami terapi dan minum obat. Perlu kesabaran. Mari kita bekerjasama untuk kesembuhan perempuan hebat. Doa kita yang tulus dan kerelaan kita merawat dia, merupakan obat dari segala obat yang termujarab. Saya percaya itu. ” Tutur Dokter Ahli Saraf dengan lembut, menyejukkan.
“Saya juga percaya,” ayahku mengatupkan kedua tangannya di dada.
“Saya sangat percaya,” keyakinanku mendalam, “Gusti Allah boten sare.”
Seminggu kemudian ibuku kembali ke rumah. Ia tidak mengenali tempat tinggal kami. Ia juga tidak mengenaliku. Kadang-kadang ia mengenali ayahku dan lalu menangis minta perlindungan. Ayahku memperlakukannya dengan sabar. Dokter Ahli Saraf itu sering menjenguk ibuku di luar jam dinasnya, sambil membawa notes dan spidol warna-warni. Ibuku diajaknya menulis puisi sederhana. Katanya, untuk terapi. Salah satu puisinya berikut ini, memulihkan daya ingatnya walau tidak sepenuhnya:
Aku perempuan dari Desa Entah
Namaku sederhana: Djumirah
Aku diangkat anak Mbok Romlah
Katanya aku ditemukan di tumpukan sampah
Mbok Romlah buruh gendong
Baik hatinya, jujur dan suka ngemong
Kerja, kerja, kerja tak banyak omong
Upah kerjanya ditabung dalam tempolong
Mbok Romlah tak punya rumah
Tiap malam di emper toko kami berkemah
Kehangatan kasihnya membuatku betah
Dalam dekap-peluk hangatnya aku pasrah
Suatu hari aku dilamar seorang lelaki
Namanya Agung Prakoso putra priyayi
Dia pahlawan hidupku nan sejati
Mendididikku jadi perempuan berarti
Maruti adalah anak lanangku
Buah perkawinan dengan suamiku
Agung Prakoso sigaran nyawaku sampai mati
Semoga di akherat kami berkumpul kembali
Amin.
Gubug Hijau Sentul City, akhir April 2018
Tentang penulis
Dra. Naning Pranoto, MA
Naning Pranoto meraih gelar sarjana di bidang bahasa dan sastra dari Universitas Nasional, Jakarta (1986). Tahun 1985 studi di Sekolah Tinggi Publisistik Jakarta. Mendapat gelar masternya (MA) di bidang Chinese Studies dari Bond University Australia (2001). Mendalami bahasa Inggris di English Language Centre Monash University. Juga belajar Academic Writing and Creative Writing di University of Western Sydney Australia (1999). Belajar tentang Sastra Hijau di Parque Ecologico Tatui Porangaba Brazil (1994-1995) dan belajar Penanganan Anak-anak Terlantar di Makati Filipina (1997).
Sebelum produktif menulis fiksi, Naning Pranoto sudah lebih dahulu berkecimpung di dunia pers dan video-film. Kemudian ia aktif mengajar dan sebagai tutor creative writing di berbagai universitas dan lebih dari 1.000 sekolah serta ratusan lembaga pendidikan di seluruh pelosok Nusantara, setelah ia studi di bidang menulis kreatif. Awal ahun 2016 Naning Pranoto bersama timnya mendirikan Rumah Sastra dan Creative Writing Centre di Yogyakarta, diberi nama “Gubug Hijau Rayakultura” di Jalan Bantul KM 5 Yogyakarta secara swadaya. Saat ini ia aktif sebagai pegiat Sastra Hijau dan menciptakan Wayang Hijau bersama Yeni Fatmawati Fahmi Idris untuk menyelematkan eksistensi bumi.
Puluhan novel dam cerita pendek, puisi serta 10 textbook creative writing telah ditulisnya. Info lebih lanjut tentang kegiatan dan karya-karya Naning Pranoto dapat diakses di www.rayakultura.net dan juga di-googling dengan kata kunci Naning Pranoto.